46 | KACAU

645 57 30
                                    

Nyx : Sa, kadang gue bertanya-tanya, kenapa hidup kita harus serumit ini? Umur kita bahkan baru tujuh belas. Temen-temen kita yang lain mungkin lagi sibuk nyiapin kuliah, pacaran di sekolah, nongkrong sana-sini. Tapi kita, udah dihadapin sama hal yang begitu sulit.

Heksa : Setiap manusia diberi jalan hidup yang berbeda, dan inilah bagian kita. Tuhan memberi situasi yang sulit, karena tahu kita bisa melewatinya.

🏹🏹🏹

Selama sisa malam, gue sama Heksa gak tidur. Gue terus kepikiran kepala tanpa tubuh di kantong plastik itu. Sementara Heksa merebahkan diri di sofa dengan gelisah. Saat gue dekati, ternyata dia masih terjaga. Jadilah, sampai pagi datang, gue habiskan untuk berlatih pakai belati dengan dia. Hanya latihan kecil, itupun mengandalkan ruang kosong di paviliunnya. Saat matahari mulai tampak, kami pun berhenti.

“Gue gak pernah bayangin bisa pegang senjata gini,” ujar gue, menatap seksama belati Nyonya Rokaya.

Heksa menuangkan air ke gelasnya. “Saya juga, sebelumnya tidak pernah terpikirkan kamu bisa ada disini.”

“Kenapa?”

Alih-alih meminumnya, Heksa malah menyerahkan air itu ke gue. “Karena kita tiba-tiba terpisah, tanpa saya berikan pesan apapun. Saya rasa mustahil bisa bertemu kamu lagi.”

Gue meminum air itu seteguk. “Gue juga, Sa. Rasanya udah mau nyerah aja, karena gak bisa nemuin lo.”

Kami berdua bertatapan, terus saling lempar senyum. Ada yang berbeda dari pandangan Heksa kali ini. Lebih dalam dan jujur. Sampai gue bisa lihat kekhawatiran, kerapuhan, dan ketakutan disana. Biasanya dia selalu berusaha menyembunyikan, tapi sekarang seolah sengaja disampaikan.

“Sa, lo baik-baik aja?” Gue sadar keadaan markas makin kacau, begitu juga dengan kemunculan Arvind yang memperparah semuanya.

“Kenapa bertanya seperti itu?” Senyum tipisnya masih terpatri.

“Lo keliatan takut, gak seberani biasanya.”

“Bukan kah ekspresi ini yang kamu lihat, ketika saya dikerjai anak nakal di SMP dulu? Dan justru kamu yang menyelamatkan saya, kan?”

Seketika sosok Heksa di depan gue bertransformasi menjadi cowok cupu beberapa tahun silam. Rambutnya dibelah dua. Kacamata bulat agak melorot di hidungnya. Bajunya dikancing sampai atas dan celananya kedodoran. Sorot mata polosnya dihiasi ketakutan dan kesepian.

“Sejak dulu, saya seorang penakut. Dan yang menyumbangkan keberanian itu adalah kamu.”

Dalam sekejap semua yang cupu itu hilang. Yang gue lihat sekarang adalah cowok berkaos hitam, mencetak tubuh atletisnya. Gak ada lagi kacamata bulat, rambutnya ditata keren. Wajahnya yang dulu mulus mirip bayi kini tercela oleh beberapa bekas luka.

“Lo takut juga sama serangan Gahara?”

“Sebelumnya ya, sekarang tidak. Ada hal lain yang lebih saya takutkan,”

Gue tahu Heksa jujur. “Apa?”

“Saya takut kehilangan kamu.”

Gue bersemu dengan perasaan campur aduk. “Lo kan selalu jagain gue, mana mungkin gue bisa hilang?”

“Bisa saja, kalau dicuri orang,” kata Heksa diakhiri ketawa rendah.

Meski terkesan bercanda, gue paham ada yang tersirat dari ucapannya. Sesaat gue terkekeh pelan, kemudian mengalihkan pandangan. Perut gue mual. Dengan tergesa gue menaruh gelas dan belati bersisian, terus melesat ke kamar mandi.

Morning sickness.

Setelah seharian kemarin gak muncul, ternyata sekarang mualnya kerasa lagi. Seakan ngasih peringatan, bahwa ada nyawa lain yang mesti gue jaga, di samping nyawa gue sendiri. Beberapa hari ke belakang gue lupa minum susu hamil. Dan itu sedikit-banyak bikin gue merasa bersalah.

REMBAS [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang