48 | REMBAS

734 74 27
                                    

"Jadi, itu bukan anak Heksa?"

Gue menoleh kaget.

Aveline. Dia datang dari pintu yang terbuka. Matanya menghunus tajam ke gue dengan muka memerah. Secepat kedipan, dia ada di depan gue lantas mendaratkan tamparan keras.

"Lalu selama ini, kalian membohongi kami semua?"

Gue tergagap, sekaligus kaget dengan rasa panas di pipi. Heksa mau mengulurkan tangan, namun gue segera menjauh. Alhasil, emosinya langsung terfokus ke Aveline.

"Tidak ada yang dibohongi. Ini adalah anak saya dan Nyx," elak Heksa.

"Aku dengar semuanya Heksa, gak perlu menyangkal!" teriak Aveline.

"Papa sudah menduga soal ini."

Kejutan berikutnya datang menginterupsi. Tuan dan Nyonya Gandewa yang kini berdiri di depan pintu. Gue makin lemas. Kenapa harus serumit ini?

"Kamu tidak usah menutupi apa-apa lagi Heksa."

Amarah Heksa tertahan. Gue yakin dia juga kaget. Ternyata sejak tadi orang-orang ada di luar paviliun, mendengarkan semuanya. Sial.

"Sekarang, kamu akui semuanya." Tuan Gandewa menatap Heksa dengan tajam tanpa ampun.

Gue gak tahan. "Saya yang salah, bukan Heksa. Saya yang pantas dimarahi."

Kontan Tuan Gandewa melirik gue. Manik matanya seakan mau membakar hidup-hidup. Gue menahan tubuh agar tetap berdiri, sudah gak ingin menangis lagi.

"Katakan kebenarannya."

Susah payah gue nelan ludah. "Saya bukan hamil anak Heksa. Dia gak melakukannya. Selama ini Heksa mengaku ini anaknya, dan itu gak bener. Heksa sama sekali gak berdosa atas kehamilan ini."

Tuan Gandewa menggertakan gigi. "Dasar jalang-"

"Jaga mulut Papa!"

"DIAM HEKSA!"

Gue tersentak.

"Bisa-bisanya kamu masih membela dia." Senyum merendahkan Tuan Gandewa terbit.

Aveline melayangkan pandangan marah sekaligus kecewa. Mirip dengan Nyonya Gandewa yang sepertinya menahan tangis. Heksa kehilangan kendali, ketenangan di dirinya luntur. Sementara gue sudah jauh lebih tegar, hanya saja mati rasa.

"Kamu harus ditahan," ucap Tuan Gandewa, gak ada sedikitpun sorot iba di matanya. Kemudian dia menepuk tangan sekali, datanglah dua orang berseragam hitam-hitam.

"Bawa di keluar." perintahnya.

Gue pasrah begitu mereka mendekat, mencengkeram tangan gue. Tapi Heksa gak tinggal diam, dia menghadang. Marah.

"Lepaskan Nyx." Napasnya memburu.

"Jangan halangi mereka, Heksa."

"TIDAK! Siapapun tidak boleh membawa Nyx. Lepaskan sekarang juga!"

Heksa baru mau maju ketika tiga orang yang lainnya masuk, menahan dia. Sedangkan gue di desak untuk mulai berjalan. Heksa berontak. Gue pasrah.

"Bentar," kata gue ke dua orang berseragam itu.

Mereka berhenti, memberi jeda. Gue menggunakannya untuk berbalik ke Heksa. Ternyata dia sudah berhasil melepaskan diri. Tiga orang yang menahannya bahkan meringis di lantai.

Sebelum Heksa mendekat, gue buru-buru menggeleng. "Berhenti, Sa."

Ajaib. Heksa nurut dan langsung diam. Bukan cuma Heksa gue rasa, namun perputaran waktu pun seakan ikut berhenti. Untuk sesaat gue merasakan sekeliling membeku. Hanya tersisa gue dan Heksa saja, saling menatap terpisah jarak. Gue bisa merasakan cintanya, kasih sayangnya, dan ketulusannya. Tapi segera, gue tersadar semua kisah ini telah berakhir.

REMBAS [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang