57 | NOSTALGIA

812 70 33
                                    

Dengan meninggalkan Bang Naren yang masih tidur pulas, gue sama Heksa ngeluyur jalan-jalan. Hari masih pagi. Tapi tetap, udara Jakarta gak ada segar-segarnya. Apalagi jalanan sudah sibuk saja. Padahal ini weekend.

"Ini kita mau kemana?"

Heksa mengangkat bahu. "Saya terserah kamu."

"Sarapan dulu aja, deh. Laper."

"Baiklah. Mau sarapan dimana, Nyonya?"

Gue memukul pahanya. "Apaan nyonya-nyonya segala."

"Simulasi, nanti banyak yang manggil begitu."

"Bikin nerveous aja heran."

"Nervous?" Heksa terkekeh. Satu tangannya melepaskan stir terus mengelus-ngelus kepala gue. "Itu hanya panggilan. Kalau kamu lebih nyaman dipanggil nama, tidak apa-apa."

Gue menyingkirkan tangannya. "Udah, fokus nyetir aja, jangan ngelus-ngelus."

"Ya sudah kalau begitu kamu yang mendekat ke saya."

Tau-tau gue ditarik sama Heksa, hingga bersandar di bahunya. Habis posisi gue pewe, dia kembali memegang kemudi. Gila Heksa sekarang, jago banget bikin nyamannya.

"Sa,"

"Hm,"

"Bang Naren bilang aku jadi jelek. Emang iya?"

"Iya," jawabnya tanpa basa-basi.

"Iya?"

"Iya."

"Tega banget sih, Sa. Sama kayak Bang Naren." Gue cemberut meski masih tetap bersandar.

"Loh, kamu kan tanya, saya jawab."

"Ya tapi jawabannya itu, loh."

"Ya sudah," Heksa mendesah. "Kamu tetap cantik."

"Bohong."

"Nyx, mau kamu sebetulnya apa?"

Gue terkekeh. "Gak tau."

"Lupakan sajalah."

"Gak, jawab dulu. Aku cantik atau jelek?"

"Cantik. Tapi lebih cantik dulu. Lagipula apa pentingnya membahas itu? Saya tetap akan menikahi kamu juga."

Gue memeluk tangan Heksa dengan sayang. Terus mendadak sadar ada sesuatu di sepanjang lengannya. "Eh ini kenapa tangan kamu merah-merah?" Gue menelusuri tangannya yang menekuk ke setir.

"Di rumah kamu banyak nyamuk," ujarnya.

"Masa? Di kamar aku gak ada, kok."

"Di kamar saya banyak,"

"Emang disana gak ada obat semprot? Atau lotion nyamuk gitu?"

"Tidak ada."

Gue menatap simpatik. "Kenapa gak bilang coba? Tau gitu bisa aku cariin."

"Kamu sama Bang Naren kedengaran serius ngobrolnya. Saya takut mengganggu."

Semalam gue memang tidur di kamar sendiri, ditemenin Bang Naren. Sementara Heksa tidur di kamar tamu. Yang memang, sudah jarang sekali ditempati.

"Uh, kasian. Calon suamiku digigitin nyamuk ternyata. Tapi masa sih, kalah sama nyamuk? Lawan musuh aja bisa."

"Musuh itu bentuknya besar, kalau nyamuk kecil," balasnya sebal.

Gue terkikik. "Ya udah deh, maaf. Masih gatel? Mau aku olesin gel gak?"

"Jangan. Lagipula sudah tidak gatal," tolaknya. "Tapi yang dipunggung masih gatal."

REMBAS [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang