28| SIDANG KELUARGA ANTASENA

986 83 4
                                    

Gue duduk menyandar ke tembok, mencapit hidung dengan jempol dan telunjuk. Tisu bernoda darah bertebaran di lantai. Strap heels tergeletak di dekatnya. Bagian bawah dress gue kusut akibat sembarang duduk. Tapi untungnya tetap bersih, tanpa terkena mimisan sedikitpun.

Setelah beberapa saat mempertahankan posisi seperti itu, gue melepaskan tangan. Bersyukur karena darahnya berhenti keluar. Gue pungut satu persatu tisu terus dibuang ke tempat sampah. Di depan cermin, gue mengelap tangan dengan tisu basah, membersihan kembali hidung, dan menambahkan bedak yang hilang.

Bertepatan saat pakai heels, pintu diketuk. Gue segera beranjak memutar kunci. Begitu terbuka, Heksa dengan setelan jas hitamnya berdiri disana.

"H-hai," sapa gue, gugup.

Heksa ngasih tatapan menganalisis. Terus kepalanya miring. "Kamu kenapa?"

"Kenapa apanya?" tanya gue bingung. Buru-buru memeriksa tubuh dan cuma menemukan dress yang agak kusut.

"Ini." Heksa meraih tangan gue. Yang bodohnya, masih memegang gumpalan tisu basah bernoda merah. "Kamu luka?"

Gue senyum tipis, melepaskan pegangannya. "Ini- cuma mimisan."

Pandangan Heksa berubah khawatir. "Mimisan? Pasti karena latihan tadi, kan?"

"Bukan, Sa. Biasanya juga emang gini, kok. Gak papa." Gue tau ini bawaan hamil. Suhu tubuh yang selalu meningkat bisa jadi pemicunya. Apalagi beberapa hari belakangan gue stres mikirin Heksa.

"Besok ke dokter, ya?"

"Ya ampun, gak usah." tolak gue, tertawa pelan. "Gak usah repot-repot, ini kan bukan anak lo."

Bibir Heksa mengatup, bikin gue sadar salah bicara. Sebelum kecanggungan berlanjut, gue melemparkan tisu ke tempat sampah, merapikan dress dan rambut. "Berangkat sekarang?"

Ketegangan mendadak muncul di wajah dia. "Sudah siap?"

"Siap gak siap, harus siap, kan?"

🏹🏹🏹

Kedatangan Keluarga Antasena malam ini enggak se-heboh jamuan makan waktu itu. Penjagaan minim, bahkan dengar-dengar Miko cuma mengerahkan lima orang saja. Della yang biasanya selalu terlibat pun malah santai di kamarnya. Selain acaranya yang dadakan, pertemuan ini memang melenceng dari rencana perjodohan, sehingga terkesan darurat.

Seakan mengulang malam kemarin, gue berpengangan dengan Heksa, saling menguatkan. Beberapa anggota yang papasan memandang takjub sekaligus penasaran. Heksa mengabaikan. Gue lebih bodo amat lagi karena terbiasa jadi bahan gosip sekolah.

Melewati gerbang penghubung dengan rumah Gandewa, bulan mendadak tertutup awan. Udara dingin menghukum gue yang pakai dress off shoulder. Heksa membawa gue menyusuri taman, melewati kolam renang, hingga sampai di pintu samping yang terbuka. Dua orang bersetelan hitam berjaga, kelihatannya dari Keluarga Antasena. Gue gemetaran.

Heksa menghela napas panjang. Gue menoleh, dia balas menatap. "Ayo."

Gue mengangguk, melangkahkan kaki ke dalam rumah mewah itu. Tegang sekaligus takut sama sekali enggak ngasih celah untuk mengagumi interior rumah. Hanya dingin. Itu yang gue rasakan sehingga menggigil. Kami berbelok sekali kemudian masuk ke ruangan luas. Mirip ruang keluarga kemarin malam, tapi yang ini lebih terkesan formal.

Lampu gantung berpendar di atasnya. Dan orang-orang sudah berkumpul. Tuan dan Nyonya Gandewa, Tuan dan Nyonya Antasena, serta Aveline. Mereka semua menoleh, ngasih tatapan benci, kecuali Nyonya Gandewa. Aveline, emosi berkobar lewat matanya yang memerah dan sembab. Dia habis nangis?

REMBAS [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang