Rasanya gue baru tidur sebentar begitu terdengar keributan. Derap kaki yang berlari, terus gedoran dipintu, disusul teriakan memanggil. Setengah sadar, gue menajamkan pendengaran, berusaha membedakan mimpi atau kenyataan.
"Del, bangun, woy! Itu, Nata pulang!"
Kantuk gue seketika musnah. Gak salah lagi, itu Cellin! Dia teriak-teriak di depan kamar Della. Dan apa katanya? Nata?
Sontak gue bangun. Ngelirik jam, rupanya pukul satu malam. Dengan tergesa-gesa gue turun dari kasur. Saat keluar, ternyata Della juga baru muncul. Rambutnya acak-acakan tapi gak ada muka bantal, kayaknya dia belum tidur.
"Nata? Lo serius?!"
Pekikan Della menyambut langkah gue yang mendekat. Sementara, Cellin mengangguk-ngangguk lantas menunjuk ke arah depan markas. "Di depan!"
Della sempat noleh ke gue, kemudian melesat keluar. Sepeninggal dia, gue dan Cellin bertatapan. Kentara, dari wajahnya yang tegang, pasti terjadi sesuatu. Berbarengan, kami berdua menyusul Della yang tau-tau sudah menghilang.
"Nata!" Nah, Della menjerit lagi.
Respons Della yang seperti itu, cukup menjadi alasan gue buat mempercepat langkah. Sampai di teras depan, ada kerumunan kecil anggota. Empat orang- salah satunya penjaga gerbang, dua diantaranya menopang cowok yang seakan mau pingsan.
Makin dekat, gue dicekam kengerian. Benar, dia Nata, dengan wajah yang berdarah-darah. Bukan cuma itu, kemejanya yang berwarna putih juga dikotori noda merah besar. Sekilas, kayak orang baru ketabrak.
"Biar sama gue," Della menyingkirkan orang di sebelah kiri, terus mengambil alih tugas menopangnya. Langsung dia kalungkan tangan Nata ke bahu. "Cepet bawa ke Suster Rara. Salah satu dari kalian, tolong telpon dokter."
Gue dan Cellin mengekor di belakang. Langkah Nata masih kuat menginjak lantai, meski kelihatan sempoyongan. Samar-samar gue dengar suara Della yang berusaha mempertahankan kesadarannya.
"Nata,"
"Ya, D-del?"
"Lo masih kuat, sampe Suster Rara?"
"A-asal ditemenin lo."
Ok, itu cukup. Gue sadar mereka lagi bucin. Tapi, keselamatan Nata saat ini jauh lebih penting. "Kamar Suster Rara masih jauh. Mending bawa aja ke ruang rapat, biar gue yang panggil Suster Rara," cetus gue.
Della noleh ke gue, terus ke Nata. Paniknya jelas terlihat meski dia berusaha menyembunyikan. "Ok, gue setuju."
Sementara rombongan mereka belok ke ruang rapat, gue ngambil kecepatan turbo menuju kamar Suster Rara. Mengesampingkan sopan santun, gue langsung menggedor pintunya. "Suster Rara! Tolong buka!"
Kira-kira begitulah. Gue melakukannya sampai dua kali, hingga kemudian terdengar selot yang digeser. Tampaklah Suster Rara, pakai piyama dengan muka ngantuk. "Nyx?"
"Ada yang luka parah."
Spontan, tatapannya berubah siaga. "Siapa? Dimana?"
"Nata, di ruang rapat."
🏹🏹🏹
Menit-menit selanjutnya cukuplah disebut menegangkan. Ruang rapat seakan berubah jadi UGD dadakan. Ada dokter dan juga Suster Rara yang mengurus Nata di sofa, oh- jangan lupakan, Della juga ikut serta. Gue berdiri di samping pintu, bersebelahan dengan Heksa. Sementara Bang Miko, Daniel, dan Cellin berada di sisi berseberangan.
“Tahan sebentar,”
Nata mengerang sementara dokter melakukan tindakan entah apa. Katanya, perut Nata memang dapat tusukan, jadi harus dijahit. Della, yang pegang tangan Nata kelihatan setengah mati nahan nangis. Gue yang menonton cuma menggigit bibir, seolah ikut merasakan sakit juga. Apalagi darah dimana-mana, bikin mual lihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
REMBAS [Tamat]
DragosteCover by @achielll ________________________________ (Spin off dari 'Halaman Terakhir') Catatan : Mengandung kekerasan dan kata-kata kasar. Apakah ada orang yang seneng di drop out dari sekolah? Ada, jawabannya adalah gue. Tapi di DO dengan keadaan...