Gue menutup pintu ruang rapat, baru balik dari kamar mandi. Saat melangkah, orang-orang di dalam enggak noleh. Sejak positif hamil gue memang jadi beser. Nyebelin banget. Kayak nenek-nenek yang enggak bisa jauh dari WC. Tapi, seperti morning sickness, seingat gue sering pipis pun adalah gejala trimester pertama kehamilan.
Ruang rapat rasanya sesak. Delapan orang mengisi kursi panjang yang mengelilingi meja persegi. Gue duduk di samping Della, berseberangan dengan Heksa yang duduk dengan Miko. Di sebelah kanan, Agra dan Daniel, lalu di kiri Cellin dan Nata. Ryan (yang merupakan bagian antek-antek Miko) absen entah kemana. Kami semua diam, menunggu Heksa yang tampak berpikir sejak tadi.
Gue menatap satu persatu wajah. Agra kelihatan tengil dan geli, Daniel menatap waspada, Miko mengatupkan rahang seakan enggak sabar, Nata setengah mati penasaran, Cellin terlampau santai, Della sedang berusaha menduga-duga. Gue menatap lurus lagi, menemukan Heksa mulai menaikkan pandangannya, bersiap bicara.
“Saya ingin kita membuat strategi perlawanan.” ujarnya mantap. Seolah sejak tadi merangkai kalimat itu sampai mendidih di dalam kepala.
“Perlawanan untuk siapa?” Daniel yang pertama menanggapi.
“Gahara.” jawab Heksa, sementara Agra sebisa mungkin menyembunyikan cengiran kurang ajarnya. Agra tahu ini menyangkut perjodohan yang ingin dibatalkan.
“Selama ini kita kan udah menyiapkannya, Sa.” sanggah Daniel, yang jelas-jelas enggak mengerti.
Heksa memajukan tubuh. “Kita perlu lebih serius.”
“Serangan Gahara akan tertahan oleh Antasena, kan?” giliran Della yang angkat suara. Della, Miko, Daniel, dan Agra tentu sudah tahu apa yang terjadi antara Gandewa-Gahara-Antasena. Berbeda dengan gue, Cellin dan Nata yang baru bergabung.
“Antasena akan menahan. Tapi tidak menutup kemungkinan Gahara akan tetap menyerang.” Perkataan Heksa tetap teguh.
“Lo nyangka Gahara akan mengkhianati kesepakatan Antasena?”
Heksa mengangguk. “Ya.”
“Gak mungkin.” Miko bersuara, setajam es yang runcing.
“Tidak ada yang mustahil. Kita semua harus siap.”
“Lalu, rencana lo apa?” Daniel menyilangkan tangannya.
“Kita kembali melakukan perekrutan.”
“Tapi itu menentang Tuan Gandewa!” sergah Miko. Wajar karena dia yang tertua di sini, terlebih tangan kanan Tuan Gandewa.
“Tidak ada yang membuat Tuan Gandewa rugi. Kita hanya menghimpun kekuatan. Kalau delapan suara di sini setuju, Tuan Gandewa tidak punya pilihan lain untuk mengizinkan.” kata Heksa, tidak menggunakan kata ‘papa’, melainkan Tuan Gandewa yang membuatnya terdengar agak asing.
“Gue setuju,” Agra unjuk suara setelah menahan diri cukup lama. “kita masih kekurangan anggota. Dan bahkan kalau Gahara gak menyerang, kita tetap butuh anggota-anggota baru itu.”
“Dan dimana mereka akan ditempatkan? Markas kita udah penuh.” Daniel melempar pandangan pada Agra, yang hanya ditanggapi dengan mengangkat bahu. Lantas beralih melihat Heksa.
“Nata sudah mengecek bangunan di utara terminal. Bagaimana hasilnya?”
Sadar semua tatapan mengarah kepadanya, Nata menegakkan punggung. Gue jadi ingat apa yang dia katakan kemarin (habis mengecek bangunan) di atas jembatan terminal.
“Ya, gue udah cek.” ujarnya memulai. “Bangunan tua, tapi masih cukup kuat. Di sana-sini banyak tumbuhan rambat, tapi masih kokoh. Bisa kita pakai latihan, ujian, atau apapun yang dibutuhkan.”
![](https://img.wattpad.com/cover/209966020-288-k576214.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
REMBAS [Tamat]
RomanceCover by @achielll ________________________________ (Spin off dari 'Halaman Terakhir') Catatan : Mengandung kekerasan dan kata-kata kasar. Apakah ada orang yang seneng di drop out dari sekolah? Ada, jawabannya adalah gue. Tapi di DO dengan keadaan...