50 | LORONG BAWAH TANAH (Serangan Gahara)

663 64 25
                                    

Selalu ada yang bisa diperbaiki, dari keadaan yang rusak sama sekali.

~Nyx Aprodith~
_________________

Heksa menarik gue keluar pintu ruang penahanan. Gue ingin memeluknya lebih lama, tapi keadaan gak memungkinkan. "Kenapa lo kesini, Sa? Keadaan di luar gimana?"

"Saya enggak mungkin membiarkan kamu terkurung disini, Nyx. Gahara masih jauh dari gerbang. Sekarang ayo, kamu ikut saya," Heksa tetiba mencekal tangan.

"Tunggu, kemana?"

"Sembunyi, dengan mama dan kakak-kakak saya," ujarnya sambil mulai berjalan.

Gue cepat-cepat menggeleng. "Gue anggota Gandewa, Sa. Tugas gue ikut bertarung, bukan sembunyi."

"Saya tidak mau kamu kenapa-napa."

"Enggak," Gue mengibaskan tangan. "Gue mau ikut berjuang sama lo, jangan larang gue untuk itu!"

Heksa mengencangkan rahang. Dia paling gak suka dibantah. Tapi keinginannya kali ini gak bisa gue penuhi.

"Heksa, please. Biarin gue berjuang sama lo." Suara gue melembut. Ketika Heksa gak bereaksi, gue buru-buru melanjutkan, "Lagian ada yang lebih penting dari itu."

Kedua alisnya terangkat.

Perkataan gue sudah diujung lidah, nyaris keluar. Tapi pandangan gue menangkap sosok manusia yang tiba-tiba ada di belakang Heksa. Tongkat kayu mengayun dari tangannya. Dalam sepersekian detik, gue mengikuti kata hati untuk memutar Heksa, mengganti posisi sehingga gue yang membelakangi orang itu. Dan tanpa jeda, sesuatu yang keras menghantam punggung dengan begitu kuat.

Semuanya langsung gelap.

🏹🏹🏹

Sesuatu yang hebat menarik gue dari kedamaian. Gue memaksa diri untuk membuka mata. Seketika, rasa sakit menyengat di sepanjang punggung.

"Nyx," Suara wanita samar-samar terdengar.

Gue merasakan pening saat berusaha membuka mata. Tapi bayangan Gahara dan apa yang sedang terjadi langsung datang begitu saja. Mau gak mau, gue membelalak. Mendapati Suster Rara dan Mbak Ning yang duduk bersebelahan.

"Kalian? Ini dimana?" Gue berniat bangun tapi mereka menahan.

"Jangan dulu bangun, kamu baru siuman." Suster Rara menegur.

Menatap sekeliling, gue mengetahui ini dimana. Paviliun Heksa. "Kenapa kita ada di sini?"

Muka Mbak Ning tegang. "Kita disuruh bersembunyi di sini. Sebetulnya di ruang bawah tanah, tapi tadi kamu pingsan. Jadi kita tunggu disini saja dulu."

"Siapa yang nyuruh sembunyi? Heksa?"

Mbak Ning mengangguk. "Ya, Mas Heksa."

Artinya tadi gue pingsan dan dibawa Heksa kesini. "Cuma kita bertiga?"

"Dengan keluarga Gandewa juga, mereka sudah ada di bawah."

Gue menelan ludah. Jadi ternyata, ini tempat persembunyian yang Heksa maksud.

"Sekarang kamu kuat buat turun ke bawah?" tanya Suster Rara.

Tanpa menjawab, gue bangun dengan menolak bantuannya. "Gue bisa sendiri, Sus."

Suster Rara dan Mbak Ning saling bertatapan, kelihatannya sepakat buat membiarkan gue bergerak sendiri. Sementara gue turun dari kasur, kemudian berdiri, menyesuaikan rasa nyeri di punggung. Sialan banget orang yang mau mukul Heksa tadi. Untung gue yang kena, bukan Heksa.

REMBAS [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang