Ketimbang nunggu makan siang di kamar, gue memilih langsung ke dapur Mbak Ning buat minta makan. Sendirian, gue berjalan menyusuri selasar yang menghubungkan dengan tempat latihan. Della enggak ikut, bilang mau langsung ke kamar buat tidur siang sebentar. Jadilah gue berbelok ke kiri, melewati kamar Suster Rara dan masuk ke dapur.
“Selamat siang, Mbak!” sapa gue begitu melewati ambang pintu.
Mbak Ning yang lagi menghitung kotak makan siang, noleh terus melambaikan tangan. Kemudian kembali menunduk melanjutkan hitungan. Tanpa dipersilahkan gue langsung melangkah, menuju ke arah meja yang penuh dengan wadah-wadah besar makanan. Tapi hampir semuanya sudah kosong.
“Udah beres, Mbak?”
“Seratus lima puluh.” final Mbak Ning, lantas berbalik sambil tersenyum. “Sudah, tinggal dibagikan.”
“Gue mau makan disini aja. Boleh ya, Mbak?”
“Boleh. Mau Mbak ambilkan piring?”
Sembari nyengir gue menyambar satu kotak makan di meja. “Ini aja, sesuai jatah.”
Mbak Ning geleng-geleng, membalas dengan senyum sabar. Dia mendekati tumpukan kardus air mineral, ngambil satu botol yang kemudian diserahkan ke gue. “Minumnya.”
“Makasih Mbak Ning yang cantik!” Gue menerima dengan senang hati, membawa makan dan minum itu ke meja makan yang kosong dan bersih.
“Ya ampun, Nyx. Gak perlu lah kamu puji Mbak kayak gitu.” Nada suaranya memberikan protes tapi kedua pipi Mbak Ning yang agak tembam merona.
“Gue serius kali, Mbak Ning emang cantik. Apalagi kalo lagi masak, wuihhh kayak nonton chef lagi beraksi.”
Mbak Ning ketawa sekarang, mukanya merah. “Kamu bisa aja, pasti ada maunya. Jangan-jangan mau minta dua kotak makan, lagi.”
Menelan suapan pertama, gue pura-pura manyun. “Jangan nuduh gitu dong, Mbak.”
Sebelum bisa menanggapi, Mbak Ning keburu didekati oleh asistennya. “Sudah matang, Mbak.” Cuma itu yang dikatakan, lalu mereka menghilang ke bagian lain dapur. Dimana jajaran kompor selama ini jadi saksi kehebatan memasak Mbak Ning.
Gue santai melanjutkan makan. Seperti biasa, masakan Mbak Ning selalu enak. Apalagi sekarang masih cukup hangat, beda kalau nunggu troli makan sampai ke kamar. Menunya simple: ayam kecap, capcay, bacem tempe, sama kerupuk, tapi toh rasanya mewah aja dibanding makan junk food sendirian di rumah.
“Haduh, bikin deg-degan saja.” Mbak Ning balik lagi. Dia mengelap dahi dengan punggung tangan setelah duduk di kursi sebelah gue.
“Apaan, Mbak?”
“Itu, calon istrinya Mas Heksa minta dimasakin, katanya mau makan siang di sini.”
Gue keselek. Refleks menyambar air, meminumnya banyak-banyak. Mbak Ning melongo khawatir. Jadi, gue buru-buru ngasih cengiran, sebagai tanda keadaan baik-baik aja. “Masakan Mbak enak banget, jadinya gue terlalu semangat makan.”
Mbak Ning menghembuskan napas keras-keras. “Ada-ada saja.”
“Jadi, calon istrinya Heksa ada di sini?” tanya gue sewajar mungkin.
Dengan tenang Mbak Ning memetik anggur hijau di meja, melahapnya lalu ngangguk. “Sudah datang dari tadi. Malah nyamperin sendiri ke dapur, ngasih kepiting banyaaaak banget, minta Mbak masakin.”
Gue ber-oh pelan disertai hati enggak karuan. Dengan cepat membereskan makan, menenggak air hingga tersisa sedikit. “Terus kepitingnya udah mateng, Mbak?”
“Sudah. Kamu mau?”
Kepiting dari Aveline? Ogah!
Gue senyum miring sambil menggelengkan kepala. “Gak deh, Mbak. Makasih.”
KAMU SEDANG MEMBACA
REMBAS [Tamat]
RomanceCover by @achielll ________________________________ (Spin off dari 'Halaman Terakhir') Catatan : Mengandung kekerasan dan kata-kata kasar. Apakah ada orang yang seneng di drop out dari sekolah? Ada, jawabannya adalah gue. Tapi di DO dengan keadaan...