18 | ITU ARVIND!

1.3K 90 5
                                    

"Sebenernya kemarin lo berantem sama Heksa, atau gimana, sih?" Della menyilangkan tangannya, menatap santai ke arah terminal.

Baru sekarang dia punya kesempatan bertanya. Karena kemarin, dari kita ketemu di ruang rapat, gue enggan mengucapkan satu katapun. Dia juga mungkin tahu kalau gue nyaris pingsan. Jadi, waktu gue minta diantar ke kamar terus mau tidur, dia sama sekali enggak keberatan.

Gue membalikkan tubuh, membiarkan punggung bersandar ke besi penghalang jembatan. "Lo kok bisa nanya gitu?"

"Ya ampun, gue punya mata, punya telinga. Nada suara Heksa aneh pas nyuruh gue. Terus lo juga, pas gue datengin kayak frustrasi gitu."

Rambut yang sengaja gue gerai ikut bergerak saat angin melintas pelan. Bayangan percakapan Heksa di ruang rapat kembali terngiang.

Saya cinta kamu. Jadi, saya mohon jangan menyerah.

'Menyerah' enggak pernah ada di kamus hidup. Tapi 'mundur', baru-baru ini rasanya terus menghasut pikiran gue. Membisikkan perintah laknat, nyuruh gue untuk menjauh dari Heksa secepatnya. Mundur dengan kasar, tanpa memberi celah pada Heksa untuk menahan.

"Del, kalo keluar Gandewa bakal separah apa?" tanya gue spontan. Sepenuhnya muncul atas dorongan otak yang nyuruh 'mundur'.

Suara Della hilang. Gue menunggu-nunggu tapi dia tetap hening. Begitu menoleh, gue langsung dihujani tatapan paling membunuh- dari setiap tatapan tajam yang sering dia lemparkan. "Lo iseng nanya, kan?" bahkan suaranya ikutan setajam belati.

Gue menelan ludah. Menyadari bahwa telah mengajukan pertanyaan yang salah. Siapapun tahu keluar Gandewa bukanlah hal yang main-main. "Gue-"

"Lo gak akan ngelakuin hal itu, kan?"

Hanya dengan satu kalimat pertanyaan saja, Della bahkan bisa meramal niat gue seperti apa.

Menenangkannya, gue menyunggingkan senyum miring kurang ajar. "Gak akan lah."

Kalau orang-orang kebanyakan bakal tenang dikasih senyum manis nan tulus, lain dengan Della yang lebih menghargai seringaian atau cengiran. Maka, sedetik kemudian ekspresinya kembali normal.

"Ngagetin gue tau gak. Jangan pernah nanyain hal itu. Dan jangan pernah berpikir mau ninggalin Gandewa."

Untuk yang kedua kali, gue menelan ludah. Sayangnya, meninggalkan Gandewa adalah satu-satunya cara untuk menjauhi Heksa, merujuk pada kata 'mundur' secara kasar tanpa memberi celah. Gue bisa balik ke Jakarta, sebelum Heksa tahu darah daging Arvind yang terus membesar di perut.

"Tapi Del, gue serius nanya. Ini sepenuhnya penasaran. Para anggota bakal ngebunuh?"

Della melepaskan tangannya dari besi pembatas, beralih memiringkan tubuh menghadap gue. "Mati terlalu mudah." katanya kecut.

Gue menangkap bayangan getir dimatanya.

"Mereka bakal nyiksa dulu. Enggak sampai mati, tapi cukup buat memberi luka seumur hidup- luka fisik, luka hati juga." Della enggak mendramatisir kalimat yang keluar, tapi gue merinding mendengarnya. "Ketika melepaskan keanggotaan Gandewa, tubuh gak akan lagi utuh. Gue jamin seumur hidup lo bakal menyesalinya. Lebih bagus gagal di ujian daripada keluar."

"Maksudnya- tubuh gak utuh?" suara gue tersangkut di tenggorokan. Disergap kengerian dari pandangan gelap Della.

"Seperti yang gue bilang, akan ada siksaan. Entah jari yang hilang, atau mungkin kuping, bahkan bola mata." Della nelan ludah. "Bagi gue, penyiksaan kayak gitu sangat gak manusiawi. Tapi- namanya juga peraturan."

Gue sepenuhnya merinding. Susah payah gue nelan ludah dengan perut yang mulai bergejolak mual.

"Udah gue peringatkan jangan nanyain itu." ketus Della, lantas mengalihkan pandangan. Dia pasti nangkap respons ketakutan dari gue.

REMBAS [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang