Kalau ada satu alasan, kenapa gue harus hidup? Itu lo, Heksa.
____________________Gue merasa terbangun dari tidur. Mata gue memicing, kaget karena sinar ruangan begitu tajam. Lantas lama-lama gue mulai menyesuaikan diri. Lemas sekali. Seolah habis melakukan perjalanan yang luar biasa panjang, dalam kegelapan.
Yang terjadi sebelum-sebelumnya seakan datang jauh dari mimpi. Suara monitor detak jantung dan mesin lain yang menggerung. Intruksi dari dokter. Berbagai selang yang dimasukkan ke tubuh. Pakaian hijau-hijau khas operasi. Suara Heksa yang memanggil-manggil. Suster berjubah di ICU. Selain itu masih banyak lagi, yang teringat samar dan ngacak di pikiran.
Apa yang terjadi dengan gue?
Gue pakai baju pasien rumah sakit. Tangan kanan gue di gips dari bawah siku hingga ke pergelangan. Sementara di tangan kiri ada perban, juga selang infus. Dengan tangan kiri lah gue mulai meraba-raba. Ada perban di pelipis, tulang hidung yang nyeri, lalu selang di salah satu lubang hidung. Turun ke leher, gue menemukan plester luka. Di bahu sebelah kanan ada perban lagi, juga di tulang selangkanya.
Gue menarik napas panjang. Menyadari tubuh mati rasa. Gue lumpuh? Cuma tangan yang bisa digerakkan. Begitu meraba perut dengan hati-hati, gue menemukan perban disana. Atau ini efek anestesi?
Menyerah, gue gak mau menebak apapun dan lebih memilih memperhatikan ruangan. Hanya dalam waktu singkat, gue menyadari ini kamar rawat inap. Di samping bed tempat gue tidur, ada bed lain yang lebih kecil dan rendah- mungkin bed penunggu. Terus ada bedside cabinet di sisi satunya dan sofabed. Di tengah-tengah ruangan ada sofa keluarga. TV berukuran besar juga menempel di dinding. Merapat ke pojok, ada satu set meja makan, disertai kulkas dan dispenser.
Desain ruangannya mewah banget, bikin gue mengira ini hotel, dengan lampu gantung yang berkilauan. Tapi nyatanya ini rumah sakit. Gue sakit.
Gue memejamkan mata. Terbayanglah sebuah pertarungan. Ada kekacauan di depan rumah Gandewa. Gue berlari di lorong bawah tanah yang sempit. Bau pengap di ruang penahanan.
Serangan Gahara.
Ingatan gue kembali. Satu persatu potongan kejadian itu datang. Mencekamnya, tegangnya, ketakutannya. Apalagi dengan mata terbelalak Arvind, ekspresi tercekiknya, dan darah yang menyembur dari lehernya yang terkoyak. Semua itu datang bagai minta pertanggung jawaban.
Arvind mati.
Gue mencengkeram bed, menghalau tremor. Perasaan gue campur aduk. Segala ingatan itu datang menghimpit, dan gue merasa benar-benar ketakutan. Gue mulai menangis. Kemudian suara berlari terdengar, disusul wujudnya yang berdiri di hadapan.
“Nyx? Kenapa? Apa yang sakit?”
Heksa. Gue sadar betul itu dia. Tapi gue gak mampu menjawab.
“Nyx, saya panggil dokter ya,”
“J-jangan,”
Heksa menatap, perpaduan antara khawatir dan bingung. Kemudian entah bagaimana, dia bisa paham apa yang gue butuhkan. Dia mendekatkan tubuh, merengkuh. “Semua sudah berakhir, kamu sudah bersama saya, tenanglah... ”
Gue menyerap seluruh ketenangan yang Heksa tawarkan dari pelukannya. Perlahan gue merasa aman. “Gandewa menang?”
Dia mencium kening gue. “Ya, dan itu semua karena kamu.”
Sesuatu yang basah menetes di pipi. Bukan, itu bukan air mata punya gue. Begitu menaikkan pandangan, ternyata dari Heksa. “Sa... Kok nangis?”
“Saya senang masih bisa berbicara dengan kamu. Saya takut, Nyx. Takut sekali. Saya takut kehilangan kamu,” katanya dengan suara parau.
KAMU SEDANG MEMBACA
REMBAS [Tamat]
عاطفيةCover by @achielll ________________________________ (Spin off dari 'Halaman Terakhir') Catatan : Mengandung kekerasan dan kata-kata kasar. Apakah ada orang yang seneng di drop out dari sekolah? Ada, jawabannya adalah gue. Tapi di DO dengan keadaan...