23| KETAHUAN HAMIL

1.6K 98 0
                                    

Pukul setengah empat sore.

Gue mondar-mandir di dalam kamar. Kalut sekaligus bingung mau ngambil keputusan apa. Masih ada waktu setengah jam mencapai keputusan untuk pulang atau bertahan. Bukan setengah jam sih, karena harus dipotong waktu perjalanan ke pasar sekitar lima belas menit.

Hasil diskusi di ruang rapat tadi menunjukkan bahwa Heksa harus tetap melanjutkan perjodohan. Orang-orang jelas berharap Heksa bisa mengorek informasi soal Gahara sambil nyusun kekuatan. Di sisi lain, Aveline mungkin bakal melakukan segala cara buat mempertahankan pernikahnnya. Yang artinya, dia bakal ngincar gue sampai mau menjauh dari Heksa.

Sejujurnya sudah sejak lama gue enggak berharap lagi sama Heksa- lebih tepatnya memaksa diri agar enggak berharap. Gue sadar pada keadaan, dimana suatu saat janin ini terus membesar, lantas Heksa bakal kecewa. Jadi menurut gue, jalan satu-satunya untuk menghindari Heksa adalah kabur dari Gandewa.

Ketika melepaskan keanggotaan Gandewa, tubuh gak akan lagi utuh. Gue jamin seumur hidup lo bakal menyesalinya. Lebih bagus gagal di ujian daripada keluar.

Suara Della di atas jembatan kembali terngiang. Ekspresi kaget bercampur takut saat gue menanyakan hal itu meyakinkan keseriusan dalam ucapannya. Gue juga mendengar ancaman serupa dari Miko, sehingga kebenarannya enggak perlu diragukan lagi. Tapi sekarang, yang gue lakuin adalah kabur, bukan keluar. Gue bisa bersembunyi tanpa ada penyiksaan dari anggota Gandewa, kan? Atau kalaupun mereka nyari, gue sepenuhnya jadi tanggung jawab Arvind.

15:45.

Jam digital di meja sebelah kasur seakan menghentikan seluruh pertimbangan gue. Akhirnya, setelah menghela napas panjang, gue menyambar jaket dan keluar kamar. Sengaja, gue enggak bawa barang apapun biar kelihatan ada urusan biasa dan bakal balik lagi. Bahkan seluruh barang yang gue bawa dari Jakarta (kecuali handphone) masih gue biarkan mengeram di dalam lemari.

Sejenak gue pandangi pintu kamar Della. Sempat kepikiran untuk menyelinap ke kamarnya, mengucapkan selamat tinggal atau setidaknya ngasih surat perpisahan. Tapi gue sadar itu hal bodoh. Maka, sebelum kecengengan menyerang, gue melangkahkan kaki panjang-panjang keluar dari asrama.

Ini jam sibuk. Kebanyakan anggota lagi pada keluar makannya markas agak lengang. Gue berjalan dengan tubuh tegap dan pasti, padahal hati gue berada di kondisi sebaliknya. Heksa yang belum sempat gue peluk, Mbak Ning yang belum gue kasih senyum manis, Della yang belum gue ucapkan terima kasih, Nata yang masih berhutang traktiran, semua itu menahan diri gue agar tetap tinggal. Tapi semakin mencapai gerbang, logika gue semakin mantap untuk keluar.

“Kemana?” Salah satu penjaga gerbang bertanya.

Gue berdeham. Setenang mungkin menjawab, “Keluar bentar, ada urusan.”

“Sendirian?”

“Menurut lo? Gak bisa liat apa, kalo di depan lo cuma ada satu orang?” jawab gue agak nyolot. Efek gugup ya begitu, niatnya mau tenang tapi yang keluar malah kekesalan.

“Tumben aja, biasanya kan sama Della.” timpal penjaga gerbang satunya.

Gue mengalihkan pandangan, dibuat seolah-olah malas menanggapi. “Yaelah, gue sama Della bukan kembar siam. Jadi gak perlu lah kemana-mana barengan. Ini gue boleh keluar gak, sih? Mau ketemu orang. Ntar orangnya keburu pergi.”

Kedua penjaga gerbang saling melempar cengiran. Yang bilang ‘tumben’ akhirnya menggeser selot, gerbang terbuka sedikit. “Jangan lama-lama.” ujarnya.

“Idih, suka-suka gue dong, gak usah sok ngatur.” Gue melangkahkan kaki keluar. Sebisa mungkin mempertahankan sikap songong sampai terdengar hembusan napas kasar mereka disusul suara gerbang tertutup.

REMBAS [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang