5 | PINGSAN

2.2K 147 5
                                    

Sisa hari setelah lewat lorong maut itu, gue cuma bisa terkapar di kasur. Bahkan gue enggak sanggup ngambil jatah makan siang dan malam. Semua badan sakit, penuh lebam-lebam yang ngeri kalau dihitung. Belum lagi luka bakar dari besi sialan itu, semoga enggak terjadi apa-apa dengan punggung mulus gue hehe.

Semalaman gue mewek. Enggak tau kenapa tiba-tiba mellow aja. Kangen kasur empuk di rumah, sekaligus mikirin reaksi Naren kalau tau tempat ini. Jauh dari Arvind, gue justru bersyukur, tapi kasian baby. Ditambah lagi Heksa, ada yang cuci otaknya, ya? Jelas-jelas kita saling lihat di aula. Tapi enggak ada tuh batang hidungnya buat nyariin gue kesini.

Besok paginya, gue memaksakan diri untuk mandi. Sekalian juga menuntaskan mual yang rajin datang pas bangun tidur. Sambil nangis bombay, gue mengucurkan air ke seluruh tubuh. Perih tau! Lo semua enggak ngerasain aja. Gue gigit bibir bawah. Pertama karena dingin, keduanya ya sakit. Gue pake kaos item sekarang, enggak akan jadi 'tai' lagi.

Selepas mandi, gue papasan sama cewek yang ikut ujian juga. Rambutnya dipotong pendek kayak cowok. Padahal mukanya manis, imut lah untuk ukuran cewek tomboy macam dia. Badannya bagus, sedikit berotot. Mungkin dari tiga cewek yang ikut, dia yang paling cocok ada di geng ini. Enggak gue duga, dia ngasih senyum miring.

"Rasanya kayak mau mampus, ya?"

Gue cuma nyengir.

"Baru kali ini gue tau rasanya besi panas." Dia nambahin lagi.

"Sensasi pertama seumur hidup. Mau lagi?"

Dia ketawa. "Gak deh, makasih. Lo aja."

"Gue juga ogah." Gue nyandar ke tembok, tapi nyesel sendiri karena bikin punggung sakit.

"Baru ujian pertama, harusnya yang paling gampang."

"Berapa ujian, sih?"

"Gak tau gue. Yang penting tetep bernapas aja."

Gue ngangguk setuju. Habis itu dia ngelanjutin jalannya ke kamar mandi, gue balik ke kamar. Dengan hati-hati gue rebahan lagi, tetep aja harus meringis. Kepala gue juga mendadak cenat-cenut enggak karuan. Haduh baby, mual beres, lanjut ke kepala. Mentang-mentang belum gue bawa ke dokter, jangan manja dulu kenapa.

Sambil nutup mata, gue menajamkan telinga. Siaga nunggu roda makanan itu lewat. Kalau enggak minta, enggak akan di kasih. Mungkin sistemnya gitu. Buktinya pas ngurung diri di kamar kemarin, gue enggak dapat makanan sama sekali. Ah sial, bukannya roda makanan, yang kedengaran malah teriakan orang depan kamar.

"Woy, lo yang ngerasa niat perekrutan Gandewa, keluar sekarang juga! Gue tunggu di lapang, lurus dari lorong ini. Tiga menit belum datang juga, lo akan berhadapan sama Miko."

Gue tahu persis itu suara siapa. Si Della. Jadi, buru-buru gue bangun dan buka pintu kamar.

"Del,"

Dia noleh. Diam-diam ada raut lega di wajahnya. "Lo baik-baik aja?" tanya dia sambil bisik-bisik.

"Yah, gak begitu baik. Beginilah."

"Beruntung lo masih hidup. Takut gue, kalo lo kenapa-napa."

Gue nyengir. "Tega bener lo, Del. Tangan gue pegel gara-gara push up kemaren. Lo sih-"

"Cepet ke depan!" Della teriak ke cewek yang baru keluar kamar. Rautnya berubah dingin.

"Lo juga, cepet!" Giliran gue yang dapat pelototannya.

REMBAS [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang