41 | ROKAYA

771 67 10
                                    

“Saya khawatir. Rasa khawatir itu datang lebih dari biasanya. Saya terus kepikiran kamu. Agra dan Bang Miko pulang ke markas, tapi mereka tidak kembali lagi ke tempat ujian. Saya sudah mencoba menghubungi, tapi tidak ada yang menjawab. Semakin malam saya makin yakin ada yang terjadi. Maka, saya pulang.

Markas ternyata kosong. Daniel memberitahu saya, bahwa sebanyak empat puluh orang pergi menyerang Gahara. Kamu ikut di dalamnya. Saat itu saya sadar sumber kekhawatiran yang sebenarnya. Tidak akan ada yang baik-baik saja saat pulang. Penyerangan selalu memberikan luka.  Dan saya tidak ingin kamu kenapa-napa.

Daniel memberitahu strategi serangan dan arah pergerakan secara detail. Tapi dia tidak tahu letak lokasinya dimana. Bagusnya, GPS di motor Bang Miko masih terpasang. Jadi, saya bisa melacak keberadaan kalian. Entah kenapa, mudah saja bagi saya menemukan kamu. Saya tahu kamu di kubu selatan, dan saya seolah mendapat petunjuk untuk melalui jalan yang tepat. Setelah itu, semua terjadi seperti yang kamu lihat.”

Heksa mengakhiri cerita panjangnya dengan helaan napas. Ketegangan di mukanya perlahan memudar, berganti gestur yang lebih nyaman. Matanya menerawang keluar pintu yang dibuka lebar, memantulkan warna hijau dari pepohonan.

“Jujur, gue juga gak nyangka lo bakal dateng,” komentar gue. Akhirnya bisa mengatakan ini setelah menahan untuk gak motong cerita Heksa.

Heksa menoleh, tersenyum tipis. “Saya tidak mungkin membiarkan kamu kenapa-napa.”

Mukanya yang serius bikin kejahilan gue terpancing. Dengan mimik muka yang dilebih-lebihkan, gue berujar, "Begitukah, wahai dewa penolong? Baiklah, diriku akan percaya sepenuhnya."

Air muka Heksa langsung berubah. Campuran antara kesal dan geli. "Padahal saya sedang serius." sesalnya, tapi tetap ketawa.

Kicauan burung saling bersahutan di kejauhan. Meskipun matahari meninggi, udara tetap sejuk. Semilir angin juga lewat dengan sangat sopan. Eh, angin kok sopan? Maksud gue, yang adem gitu loh, gak grasah-grusuh.

Ngomong-ngomong, gue sama Heksa sekarang ada di lantai dua. Tadi, Tuan Rodra langsung mempersilahkan kami masuk. Pelayannya mengantar kesini, nyuruh istirahat dulu. Sementara Tuan Rodra sendiri, entah ada urusan apa dengan Bang Miko.

Ini seperti ruangan bersantai. Pintunya langsung terhubung ke balkon yang menghadap ke hutan lebat. Sofa panjang dan single sofa mengelilingi meja kayu yang dipernis. Minuman dingin beserta cemilan ringan ada di atasnya, tadi diantar oleh seorang pelayan di sini.

"Nyx, luka di tangan kamu bagaimana?" tanya Heksa mendadak. Kayaknya dia baru ingat luka yang gue dapat semalam.

Luka itu tersembunyi dibalik jaket. Masih diperban dengan baik. "Gak papa, udah diobatin sama Suster Rara."

"Tiga jahitan?" katanya.

"Kok tau?"

"Suster Rara memberitahu saya."

"Ngapain Suster Rara ngasih tau lo? Masa luka aja sebegitu pentingnya." gerutu gue.

Heksa menatap dengan sabar. "Kalau luka nya ada di tubuh kamu, itu penting."

Gue memutar mata. "Iya, deh, penting. Lo kan dewa penolong gue."

"Nyx ...!" Matanya melotot gemas. Langsung saja tangannya terulur, menggelitik perut gue tanpa ampun.

Gue yang belum pasang pertahanan langsung diserbu geli. Mau melawan tapi malah ketawa tanpa daya. "Heksa!" protes gue. Berani-beraninya dia jahil kayak gini.

"Kenapa? Menyerah?" Heksa ikutan ketawa.

"Geli tau, udah ih!" Gue masih ketawa-ketiwi saking gelinya. Akhirnya, gue dapat ide- "Aw!"

REMBAS [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang