39 | OTW LEMBANG

657 62 6
                                    

Pemakaman Ryan berlangsung sangat singkat. Bahkan terlalu singkat buat dikatakan sebuah ritual pemakaman. Kita cuma mengelilingi lubang yang digali sedalam satu meter dimana baju dan entahlah- potongan jari kelingking Ryan dikubur. Semuanya diam dalam beberapa menit.

Gue bingung antara harus menangis atau tertawa. Memangnya menangisi apa? Baju penuh darah dan jari kelingking? Tapi aura kesedihan atas kehilangan Ryan memang gak bisa dielak. Gue ikut terhanyut sambil berdo’a (itupun kalau bisa disebut do’a). Begitu juga anggota yang lain, gue sulit memastikan mereka menatap kosong atau memang mengirimkan ucapan selamat jalan kepada Ryan.

Keadaan markas kembali normal setelahnya. Para anggota tetap latihan walau kehilangan satu anggota inti mereka. Suster Rara sendiri kelihatan sibuk, mungkin memeriksa anggota dengan luka yang butuh pengobatan lebih lanjut. Sementara gue, sehabis pemakaman selesai langsung mencari keberadaan Heksa. Dia menghilang.

Tempat yang paling mungkin adalah paviliunnya. Dia baru pulang dari perekrutan, cape dan kurang tidur, pasti butuh istirahat. Tapi gue gak berani ke sana, terlalu lancang. Maka, dari halaman samping markas, gue berniat kembali ke asrama cewek, sendirian. Della pergi ke ruangan Suster Rara, katanya minta suplemen entah apa. Cellin sendiri mimpin latihan anggota cewek.

Saat akan berbelok ke lorong asrama, gue melayangkan pandangan ke arah gerbang. Ada Heksa! Dia lagi pakai helm, bersiap naik ke motor. Tanpa perlu berpikir, gue bergegas mendekat. Heksa menoleh lebih cepat sebelum gue panggil. Mukanya datar walau ada sedikit ekspresi gak suka ditatapannya. Dia masih marah.

“Mau kemana?” tanya gue se-normal mungkin, mencoba mengabaikan sikap dinginnya yang belum hilang. Gue rela dikatain penguntit, sumpah, walau sejujurnya cuma khawatir.

Heksa menatap beberapa saat kemudian mengayunkan dagunya ke arah asrama cewek. “Istirahatlah.”

“Tapi lo mau kemana?”

Ada bayangan hitam di bawah mata dan wajahnya pucat. Heksa pasti kurang tidur beberapa hari ke belakang. Dia menatap sekeliling sebelum menjawab dengan sangat pelan, “Lembang.”

“Gue ikut.” timpal gue tanpa jeda.

“Tidak. Masuk dan istirahatlah.” katanya lelah.

“Yang butuh istirahat itu lo, Sa.” Gue menatapnya sungguh-sungguh, berharap bisa meluluhkannya lagi.

Heksa mendesah. “Saya tidak bisa menunda lagi urusan ini.”

“Kalo gitu gue ikut. Gue gak mau lo pergi sendirian dengan kondisi yang kelelahan kayak gini.” Gue mencengkram lengan jaket denimnya. “Gue ikut, ya? Gue janji gak akan kayak kemarin. Gue akan baik-baik aja.”

Mata Heksa memandang lurus ke mata gue. Entah apa yang dia cari dengan tatapan seperti itu. Hingga kemudian di detik selanjutnya dia membuang napas panjang, membuang pandangan dengan cepat. “Baiklah, ayo.”

Diam-diam gue merasa senang. Begitu Heksa melepas lagi helmnya, baru gue kebingungan. “Kenapa dilepas?”

Heksa noleh gak ngerti.

“Helmnya,” Gue menunjuk. “kenapa dilepas?”

“Kita naik mobil.”

Gue gak menjawab. Hanya memperhatikan begitu Heksa menjauh untuk menuju seorang anggota cowok dekat gerbang. Dia berbicara sebentar lalu menyodorkan tangan. Kunci mobil diterimanya dari anggota cowok itu. Hanya dengan noleh dan ngasih isyarat ke arah mobil, gue mengerti agar langsung mengikutinya.

Awalnya gue kira akan pakai mobil bekas semalam, ternyata enggak. Heksa masuk ke mobil yang terparkir rapi di paling ujung- Pajero Sport. Dia masuk duluan ke kursi kemudi tanpa repot membukakan pintu buat gue. Ok, dia kan lagi marah.

REMBAS [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang