31| RUANG SENJATA

802 74 2
                                    

Gue mematung. Penuh waspada, perlahan gue berbalik badan, dan malah dibuat tercengang. Lantai kayu di depan single sofa itu terangkat. Salah satu bilah kayunya justru tenggelam, mirip tombol yang baru dipencet. Gue melongok, menemukan tangga yang menghilang di kegelapan.

Ini pintu ruang bawah tanah?

...

Parno sendiri, gue takut seseorang baru saja masuk ke pavilun. Tuan Gandewa mungkin, atau bahkan Bang Miko? Dengan gemetaran gue mengelilingi lantai kayu yang terangkat itu. Tapi enggak menemukan apa-apa selain keheningan dan gelap.

Gue raba bilah kayu yang tenggelam. Kemudian mencoba menginjak lagi. Suara berderit dan 'ceklek' kembali terdengar, bersamaan dengan lantai yang turun ke keadaan semula.

Oh, gue ngerti!

Ini memang benar pintu bawah tanah. Tadi, gue pasti enggak sengaja nginjak bilah kayu yang berfungsi membuka pintu secara otomatis. Gue injak sekali lagi dan makin yakin cara kerjanya benar, karena pintu di lantai itu kembali terbuka. Luar biasa!

Penuh semangat, gue menyimpan buku di rak, kemudian menarik pintu biar terbuka makin lebar. Menginjak tangga pertama, gue berhenti untuk memastikan pijakan aman. Gue rasa kayunya masih bagus, bukan jenis kayu tua yang lapuk.

Sembari meraba-raba dinding, gue menapaki beberapa anak tangga lagi. Hingga gue temukan saklar, girang banget rasanya. Begitu gue tekan, lorong menurun itu menjadi terang. Bagusnya, ada senter juga yang seolah sengaja digantung disana.

Anak tangga habis. Kini gue menyusuri lorong datar dengan dindingnya yang masih mengekspos bata merah. Ukuran lorongnya paling cuma dua kali badan gue. Semakin masuk, cahaya makin remang berujung gelap.

Gue menyalakan senter. Tiga langkah kemudian, gue menemukan pintu. Meraba-raba selot, gue berhasil membukanya dan mendapati lorong bercabang dua. Seakan menebak jawaban ulangan, gue asal memilih lorong kanan. Ternyata, lorong tersebut terhubung ke ruangan luas dimana banyak rak-rak besar yang dipenuhi senjata. Gue tau ini apa, ruang senjata.

Gue baru akan melangkah ketika terdengar dehaman pelan dari dalam. Senter dimatikan sementara gue sendiri merapat ke dinding.

“Besok pagi akan saya kirim. Iya, peta terbaru lorong bawah tanah.” kata orang itu.

Suaranya enggak asing. Gue memejamkan mata, mencari-cari memori suara dalam otak. Nada menyebalkan, tegas, dan dingin itu milik ... Bang Miko.

“Setengah senjata di sini saya pastikan bisa dipakai.” Kemudian dia tertawa. “Tapi lebih bagus kalau kita gunakan daripada dihancurkan. Lumayan.”

Ternyata Bang Miko sedang bertelepon.

“Beberapa hari lagi, nanti saya kabari. Sekarang ada hal yang harus diselesaikan... Iya, ada yang menyimpang dari rencana. Heksa mau perekrutan terus dilaksanakan. Ini berbahaya...”

Telapak tangan gue mulai berkeringat. Takut ketauan menguping sekaligus penasaran dengan percakapannya.

“Nah betul, begitu maksud saya. Tentu, saya akan terus melaporkan apapun yang terjadi di sini. Termasuk mengenai perjodohannya dengan anak keluarga Antasena itu.”

Tangan gue licin sehingga senter tergelincir. Bunyi nyaringnya membuat gue menahan napas. Bang Miko berhenti menelepon. Meski terhalang tembok, gue bisa merasakan tatapannya menusuk ke tempat gue berdiri. Kalap, gue menarik diri kemudian lari.

“Siapa itu?” Suaranya menatul-mantul di sepanjang lorong.

Gelap. Gue meraba-raba sekitar dan menemukan persimpangan. Berbelok ke kiri untuk kembali ke paviliun Heksa, gue berharap bisa sampai di sana sebelum tertangkap Miko. Gue bahkan lupa menutup pintunya. Tiba-tiba, sebuah cahaya menerangi jalan gue di depan. Menandakan bahwa di belakang, Miko tengah mengejar. Gue terus menambah kecepatan.

REMBAS [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang