Kemarahan Heksa sangat wajar. Kalau seandainya jadi dia, gue mungkin bukan cuma bilang an-jing aja, tapi bakal teriak frustasi dengan lebih banyak kata kasar. Siapa yang gak marah dengar sepupu sendiri seorang pengkhianat? Padahal selama ini dia dikasih kepercayaan buat mimpin salah satu markas. Bahkan hampir setiap usulannya sering diterima dan dijadikan keputusan.
Yang gue kagum, marahnya Heksa tetap terkontrol. Dia langsung minta maaf setelah umpatan yang bikin kaget itu. Katanya, “Maaf, Nyx. Tidak seharusnya saya bicara sekasar itu di depan kamu.”
Tapi gue lebih dulu paham dan memaafkan. Jadi, gue langsung mengangguk dengan senyum. “Gak papa. Lo boleh ngulang lagi, kok, biar lega.”
Ternyata Heksa gak melakukannya. Mulutnya rapat dan gue pergoki dia berulang kali mengatur napas. Berhasil memang, hingga sampai di parkiran markas, gak ada sedikitpun emosi yang Heksa lampiaskan ke gue.
“Sekarang kita kemana?” tanya gue setelah melepas seatbelt.
Heksa mematikan mobil. “Ke ruang rapat saja, yang lain pasti disana.”
Bersamaan dengan Heksa, gue turun. Heksa berjalan di sebelah gue, langkahnya panjang. Seperti yang disebutkan, kami langsung menuju ke ruang rapat.
Suasana markas tetap sama seperti terakhir gue pergi. Kerasa mencekam dan tegang. Maklum, anggota lain menganggap Ryan mati, jadi masih berduka. Selain itu, kabar pengkhianatan juga kaburnya Agra pasti makin memperburuk keadaan.
Dari arah lapang, kedengaran teriakan pembimbing latihan. Pasti bukan anggota inti sebab gue gak kenal suaranya. Begitupun dengan anggota cewek, yang ngasih perintah dengan lantang itu bukan Della. Sementara bagian markas lain sepi, beberapa anggota pasti ditugaskan cari Agra.
Dalam sekejap gue sudah sampai di depan ruang rapat. Pintunya terbuka, tanda kalau ada orang di dalam. Kali ini gue yang mendorong pintu, melangkah lebih dulu. Ternyata, cuma ada Della dan Cellin. Mereka langsung noleh begitu gue masuk.
“Nyx?” Della malah melongo.
Gue berusaha nyengir. Tau bahwa yang bikin dia berekspresi gitu adalah baju ini. “Hai Del, Cel,” sapa gue senormal mungkin.
“Yang lain kemana?” Heksa menyampirkan jaket di sandaran sofa, kemudian menghempaskan diri diatasnya.
“Daniel ikut pencarian Agra, Bang Miko lagi dipanggil Tuan Gandewa,” jawab Cellin ringan. Dia duduk bertumpang kaki dengan muka bosan.
“Nata?” Mendadak gue teringat sejak beberapa hari lalu belum ketemu dia.
Della, yang berusaha melepaskan matanya dari baju gue menjawab, “Masih di Antasena. Dia bilang, sengaja gak pulang, biar identitasnya gak kebongkar.”
Gue bisa nangkap sinyal khawatir dalam suara Della. Rupanya, dia terlanjur sayang sama cowok yang dulu gue panggil Si Aspal. Meski memang di samping itu, rasa penasarannya pasti membludak soal baju gue. Kalau lagi memungkinkan, dia bakal memberondong dengan banyak pertanyaan.
“By the way, soal Agra-“ Cellin berdecak pelan, terus natap Heksa. “gue masih gak nyangka. Darimana lo bisa tau?”
“Ada informan yang bisa dipercaya,” sahut Heksa. Membuat gue sadar kalau keadaan Ryan tetap disembunyikan, bahkan dari anggota inti sekalipun. Mungkin dia masih was-was ada pengkhianat lagi. Meskipun gue yakin Della ataupun Cellin bisa dipercaya.
“Jangankan lo, Cel. Gue aja yang udah lama kenal Agra bisa kecolongan. Tapi emang sih, kadang tingkahnya agak aneh juga. Gue pikir itu karena dia bobrok aja,” timpal Della, diakhiri desahan.
“Tapi ya... gue juga bisa liat ambisi dia buat nguasain Gandewa. So, ini gak terlalu mengagetkan.” Cellin angkat bahu.
Obrolan mereka memusingkan. Gue ingin menutup mata dan telinga sebentar aja. Sayangnya gak bisa, karena pintu terbuka dan Bang Miko menyerbu masuk. Wajahnya kelihatan kebas.
KAMU SEDANG MEMBACA
REMBAS [Tamat]
DragosteCover by @achielll ________________________________ (Spin off dari 'Halaman Terakhir') Catatan : Mengandung kekerasan dan kata-kata kasar. Apakah ada orang yang seneng di drop out dari sekolah? Ada, jawabannya adalah gue. Tapi di DO dengan keadaan...