Detik itu juga gue langsung sadar kalau Heksa marah besar. Dari cara dia natap, ada rasa kecewa disamping khawatir. Gue ingin peluk, tapi pegangannya keburu dilepaskan dengan kasar.
“Masuk ke mobil,” perintah dia keras.
Gue menelan ludah. “L-lo mau kemana?”
“Kembali ke sana.” katanya, melemparkan pandangan ke tempat penyerangan. “Agar Cellin dan yang lainnya bisa cepat kesini.”
Rasa bersalah nyerang gue. Heksa pasti ngerasa dikhianatin dengan keikutsertaan gue tanpa seizin dia. “Sa, maaf, gue-“
“Bukan saat yang tepat,” potongnya.
Gue menunduk, diam. Darah mengalir dari sayatan tadi, makin banyak. Tapi sakitnya gak seberapa dibanding nerima tatapan nusuk Heksa.
“Nyx,” Dia manggil.
Masih ketakutan, gue gak berani menaikan pandangan. Selang beberapa detik, dengan lembut Heksa meraih tangan gue yang luka. Satu lagi tangannya membuka pintu tengah mobil.
“Ayo, duduk.” ajaknya. Meski enggak sekasar sebelumnya, kentara dingin dan marah belum bisa hilang.
Tanpa bantahan, gue nurut naik ke mobil, duduk menghadap pintu yang sengaja dibuka. Heksa berdiri di hadapan. Lantas dia melepaskan kemeja, menyisakan kaos hitam polos yang melekat ke badan. Dalam sekali tarikan, kemeja itu dirobek. Gue kaget, ingin menahan tapi sudah terlanjur rusak. Akhirnya gue pasrah lihat dia melipat-lipat sobekan yang lebih kecil. Terus diikatkan ke luka di lengan gue.
“Masuk,” katanya setelah selesai.
Gue menaikkan kaki, merangsek masuk ke dalam mobil. Dalam sekejap Heksa menutup pintu, berlari kembali ke area pertarungan tadi. Cuma tatapan nanar yang mampu gue lemparkan.
Sekeliling gue sepi. Kontras sekali dengan dengan kekacauan di kejauhan. Rasanya ini semua mimpi. Tapi sekujur tubuh gue beneran basah oleh keringat. Bahkan gue masih berusaha keras mengatur napas. Kilatan pisau musuh tadi kembali melesat dalam benak. Gue meringis singkat.
“Cepet, Rik!”
Empat bayangan hitam mendekat di kejauhan. Kelegaan meluap bersamaan dengan pintu kemudi dan penumpang depan yang terbuka. Disusul pintu kanan-kiri gue. Kubu kita lengkap lagi.
“Jalan!” perintah Cellin.
Mobil dinyalakan, lantas mundur dalam kecepatan tinggi. Erik yang kini memegang kemudi memutar mobil dengan tajam. Dalam hitungan detik kita kembali ke jalan rusak yang akan tembus ke jalan raya. Semuanya mendesah keras-keras.
Baru ingin merebahkan kepala, gue teringat sesuatu. “Heksa mana?”
“Masih disana,” sahut Cellin tanpa menoleh.
“Cuma kita yang lolos?” Suara gue serak.
“Kubu Rio, Haris, sama Sena udah lolos duluan-“ Cellin menempelkan tangannya ke telinga. “Sekarang Ryan sama Candra nyusul.”
Artinya tinggal sisa kubu Agra sama Bang Miko di sana, juga ... Heksa. Semoga lo baik-baik aja, Sa.
“Lo masih kuat, Dil?” Kali ini Cellin berbalik sebab duduk di depan.
Otomatis gue ngelirik Fadil, seketika syok lihat darah mengucur di dahinya. “Ya, ampun! Darah lo banyak banget Dil!”
Fadil menggeleng. “Ini cuma kegores aja, gue gak papa. Kalian juga luka, kan?” Dia ngelirik gue, kemudian Cellin. “Tangan lo bisa digerakin, Cel?”
“Sedikit nyeri, tapi it’s ok lah.” jawab Cellin.
“Kita bukan nyerang, tapi masuk ke jebakan.” celetuk Reno.
![](https://img.wattpad.com/cover/209966020-288-k576214.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
REMBAS [Tamat]
RomanceCover by @achielll ________________________________ (Spin off dari 'Halaman Terakhir') Catatan : Mengandung kekerasan dan kata-kata kasar. Apakah ada orang yang seneng di drop out dari sekolah? Ada, jawabannya adalah gue. Tapi di DO dengan keadaan...