"Heksa menikah saja dengan Aveline."
Semua orang terdiam, kaget.
“Nyx,“ Heksa syok.
Aveline menyeringai penuh kemenangan. “Dengar, kan? Lalu apalagi masalahnya?”
Orang-orang saling bertatapan. Sementara Heksa menatap gue tajam. Tanpa mengalihkan pandangan, dia bilang, “Masalahnya, saya cinta Nyx dan sama sekali tidak cinta Aveline.”
Seringaian Aveline sepenuhnya musnah. Gue bisa melihat Tuan Gandewa memalingkan mukanya yang merah padam. Nyonya Gandewa menunduk seperti menahan malu. Sementara wajah Tuan dan Nyonya Antasena mengeras.
"Sekarang sudah jelas, kamu dengar sendiri kan, sayang? Ayo, pulang. Masih banyak laki-laki yang jauh lebih baik dari dia." ujar Tuan Antasena.
Kedua orang tuanya mengapit Aveline. Menyeret cewek itu agar mau meninggalkan ruangan. Dia sempat melayangkan tatapan tersiksanya sebelum berbelok. Diikuti cewek berkemeja yang tadi menyerahkan testpack. Sementara suara tangisan Aveline terdengar beberapa saat dan berangsur menghilang.
Tuan Gandewa dan Heksa kini bertatapan. Saling melempar pandangan bermusuhan.
"Bagus, Heksa. Kamu membuat semuanya kacau." Tuan Gandewa bertepuk tangan singkat. Terus mengalihkan tatapan tajamnya ke gue. "Dan kamu, selamat karena telah berhasil menimbulkan masalah."
Lagi-lagi hati gue serasa ditusuk. Sakit. Tapi enggak bisa berbuat apa-apa.
"Sebentar," Tuan Gandewa bersedekap. "Peresmian anggota baru, belum genap 2 bulan. Bagaimana mungkin kehamilan kamu bisa sembilan minggu?"
Daripada menjawab, gue menoleh pada Heksa, menahan diri untuk tetap tenang. Meski kelihatan datar, gue tau Heksa pun agak terguncang. Ketika masih memikirkan jawaban, dia lebih dulu berucap, "Kami bertemu sebelum itu."
“Dimana orang tua kamu?” tanyanya dengan suara mengintimidasi.
Gue diam, bingung harus menjawab apa. Lagian dimana orang tua gue sekarang? Gue pun enggak tahu mereka masih hidup atau mati.
“Kamu tidak berasal dari Bandung, kan?” desak Tuan Gandewa lagi.
“Nyx dari Bandung.” bantah Heksa cepat.
Tuan Gandewa menatap lurus. “Jangan berbohong Heksa, dia dari Jakarta. Dan kalian bertemu disana."
"Tidak." Heksa bersikeras menyangkal.
"Ya, kalian bertemu di Jakarta. Saat kamu sekolah di sana. Jangan pikir Papa tidak tau."
Tangan Heksa mengepal. "Sudah saya bilang, tidak boleh ada pencarian informasi apapun, selama saya di Jakarta. Papa melanggarnya."
"Papa tidak akan melanggar, jika kamu sendiri tidak memberontak pada perjodohan."
“Ini hidup saya. Maka saya yang berhak menentukan pilihan.” Suara Heksa menajam.
Tuan Gandewa melempar senyum kecut. “Kamu sudah lupa? Kamu lahir di Gandewa, terikat aturan. Seharusnya kamu bersyukur bisa menjadi pemimpin setelah Papa.”
“Saya justru tidak menginginkannya. Menjadi pemimpin Gandewa malah seperti kutukan.”
“Jaga mulut kamu!” bentak Tuan Gandewa.
Berbarengan dengan Nyonya Gandewa, gue ikut berdiri juga. Mencoba menenangkan Heksa dengan mengusap tangannya singkat.
“Saya tidak pernah mau menjadi pemimpin Gandewa. Papa pun tau, dari dulu saya selalu memberontak. Kenapa tidak melemparkan kepemimpinan pada Agra? Dia lebih menginginkannya.” ujarnya, masih tajam.

KAMU SEDANG MEMBACA
REMBAS [Tamat]
RomanceCover by @achielll ________________________________ (Spin off dari 'Halaman Terakhir') Catatan : Mengandung kekerasan dan kata-kata kasar. Apakah ada orang yang seneng di drop out dari sekolah? Ada, jawabannya adalah gue. Tapi di DO dengan keadaan...