19 | DIPAKSA PULANG

1.3K 90 6
                                    

Sial!

Kenapa Arvind ada di sini? Rasanya gue belum pernah nyebut-nyebut ‘Bandung’ selama berhubungan dengan dia. Lagipula, udah lama banget gue minggat, harusnya Si Brengsek itu enggak perlu nyariin gue lagi.

Gue merosot duduk di depan salah satu kios pasar yang tutup. Yakin bahwa posisi sekarang sudah cukup tersembunyi dari terminal. Meskipun, ada kemungkinan Arvind lihat gue di atas jembatan tadi, dia akan sulit menemukan gue di sini.

Nata menyusul kemudian, ikut menghempaskan tubuh di sebelah gue. Rambutnya nempel ke dahi karena keringat. Napasnya pendek-pendek, sama dengan gue yang luar biasa ngos-ngosan.

“Kenapa, sih?” tanyanya setelah beberapa saat. Dongkol dan bingung bercampur menjadi satu.

Sebagai tanggapan, gue cuma menggeleng. Masih terlalu syok dan cape. Sebagai gantinya, gue meluruskan kaki yang kebas sehabis lari. Lantas mendorong rambut yang lengket ke belakang, mengipasinya dengan tangan.

“Kayak dikejar setan tau gak.” ujarnya lagi.

Gue nyengir singkat. “Ini lebih daripada setan.”

“Mantan lo?”

“Mantan?” gue noleh kaget karena tebakannya lagi-lagi menyerempet benar.

Dia ngangkat bahu. “Bukannya cewek suka nyebut mantan dengan kata ‘setan’?”

“Ngaco, ah. Yang bener itu, cewek suka nyebut mantan dengan kata ‘sampah’.” kata gue, dengan penekanan penuh di kata terakhir.

“Kalo sampah artinya bisa di daur ulang. Jadi balikan itu berlaku dong, ya?”

Gue menghembuskan napas keras-keras. Pusing sendiri mendengar ocehannya yang enggak berbobot. Sejurus gue menyentak berdiri, membuat sekeliling menjadi gelap akibat gerakan refleks tersebut. Menggelengkan kepala untuk menetralkan pandangan, Nata tahu-tahu sudah ikut berdiri juga.

“Ke mana?” tanyanya.

“Markas. Anterin gue. Jangan lewat terminal. Bisa?”

Dia melongo tolol dengar penuturan gue yang tersendat-sendat. Tapi akhirnya mengangguk juga. “Bisa.”

Setelah cahaya kembali, gue mulai menyejajari langkah Nata. Dia membawa gue semakin masuk ke dalam pasar, kelihatan hafal betul jalan keluar. “Nat, sekalian kabarin Della. Bilang gue balik ke markas bareng lo.”

Hanya dengan anggukan singkat, dia kemudian mengeluarkan handphone. Sambil terus berjalan, gue memperhatikan keadaan sekitar. Entah kenapa masih was-was dan merasa dihantui bayangan Arvind.

Sepanjang lorong yang dilalui, kios-kiosnya tutup. Beberapa bahkan ada yang berplang ‘dijual’. Langkah kaki kita berdua menjadi cukup berisik untuk tempat sepi begini.

“Halo, Del,” ucap Nata. Teleponnya baru tersambung.

Gue kembali melempar tatapan ke depan. Untuk kemudian kaget menangkap ada sebuah gerakan di ujung lorong. Dan dibuat merinding oleh perasaan sedang diawasi.

“Iya, Nyx lagi sama gue. Kita mau balik ke markas.” Nata masih berbicara di telepon.

Ini bukan ilusi. Sekarang gue yakin gerakan tadi mewujud bayangan hitam yang berdiri di sana. Sama sekali bukan hantu, itu manusia, berpakaian serba hitam.

“Lo emang masih lama atau-“

“Nat,“ Gue kontan mencengkram jaketnya, berhenti melangkah.

Nata ikut membeku, menatap ke depan sembari menurunkan handphone. Gue merasakan tubuhnya menegang. Menyingkirkan tangan gue dari jaket, dia beralih menggenggam erat-erat. Sosok di ujung lorong tadi, sialnya berjalan mendekat.

REMBAS [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang