Tigapuluh Tiga

1K 50 3
                                    

Yang jauh hanya pijakan, bukan perasaan. Yang berjarak hanyalah raga, bukan rasa.

***

Hera keluar dari ruang dokter tersebut dengan raut wajah yamg muram. Ia meremas tangannya dengan pandangan lurus kedepan. Sedang, suaminya yang ada disampingnya hanya memasang wajah santai seolah tak terjadi apapun.

"Apa kamu dengar apa yang dibilang Dokter tadi?" ujar Hera dengan nada cemas nya.

"Kamu pikir aku gak dengar ya?" sungut Wira terdengar kesal.

Hera menatap suaminya dengan tatapan tak habis pikir. "Syukurlah kalau kamu mendengarnya, seenggaknya kamu bisa membagi kasih sayang kamu sama dia."

"Gak usah berharap," balas Wira dan langsung meninggalkan Hera begitu saja.

Dan Hera yang tak terima dengan ucapan suaminya pun mengejar langkah Wira dan menarik lengannya. "Apa hati kamu itu terbuat dari batu? Atau bahkan kamu tidak punya hati? Dia sakit karena butuh kasih sayang! Bukan dikucilkan dan dibenci!"

Wira tampak tertawa hambar. "Dia sakit karena memang bawaan dari bayi. Apa kamu masih gak ngerti?! Sejak umur satu tahun dia memang selalu mimisan dan berdampak demikian."

"Dan kamu anggap itu hal sepele, kan?"

"Ya! Karena aku gak butuh anak penyakitan kayak dia! Jadi jangan harap aku akan membagi kasih sayangku dengan anak itu!" sentak Wira membuat air mata Hera luruh seketika.

"Kamu memang Ayah yang tidak berguna, Wira! Kamu tidak pantas menjadi Ayah atau bahkan dipanggil Ayah!" Hera menunjuk wajah Wira dengan derai air mata yang membanjiri pipinya.

Meski terdengar menyakitkan ditelinga Wira, ia sama sekali tidak peduli akan hal itu dan tetap pada pendiriannya. "Berkata lah semaumu. Tapi camkan ini baik baik, sampai Qinar gak bernyawa nanti pun aku gak akan menganggapnya sebagai almarhumah anakku!"

Dada Hera tiba tiba begitu sesak kala mendengar ucapan yang tak manusiawi dari suaminya itu. Ingin sekali ia menampar Wira dengan keras, namun itu tak ada gunanya juga.

"Jaga bicaramu! Sekali lagi kamu mengatakan hal-hal yang gak sepantasnya, aku gak segan segan mengajukan gugatan cerai sama kamu!" kata Hera dengan berapi api.

"Apa kamu bilang?!" Wira mengangkat tangannya dan hendak ia arahkan pada Hera, tetapi—

"Om, tunggu!" Seseorang tiba tiba datang dan membuat tangan Wira yang hendak melayangkan tamparan pada Hera mendadak berhenti di udara.

Mereka berdua saling menoleh kearah Valdo. Wira menurunkan tangannya dan menatap Hera dengan nyalang. Setelahnya, ia pun pergi dari sana tanpa sepatah kata pun.

Valdo menghampiri Hera dan mengajaknya duduk. Beberapa kali pula Valdo menenangkan Hera yang terus menangis. Dan ia turut prihatin dengannya, bagaimana tidak, hanya Hera yang menyayangi Qinar selain dirinya dan juga keluarga tirinya. Sedangkan Ayah dan saudaranya sama sekali tak menganggap Qinar ada.

Valdo mengelus bahu Hera yang bergetar. "Tante gak pa-pa, kan?"

Hera menggeleng lemah sembari berkata, "Tante malu bertengkar ditempat umum dan ini menyangkut keluarga. Dan ini semua gara gara Wira."

Valdo menghela napasnya pelan. "Sudah, Tante jangan dipikirkan lagi. Om Wira mungkin lagi kecapekan karena habis pulang kerja, makanya dia marah-marah."

"Dia bukanya capek! Tapi dia memang seperti itu! Seumur umur dia gak pernah membenci seseorang sampai segitunya. Dan baru kali ini dia membenci anaknya sendiri hingga melebihi batas."

My World (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang