Delapan

1.6K 91 4
                                    

Beberapa orang pernah mengatakan, menghargai jika ingin dihargai.

***

"Semalem Kakak ke kamar kamu bentar, gak sengaja liat tangan kamu diperban sama jidat lebam kenapa?"

Qinar menatap Arga yang tengah menikmati sarapannya. Qinar yang baru saja datang dan ikut gabung bersama dengan ayahnya dan kakaknya langsung menbdapat pertanyaan yang membuatnya bingung harus menjawab apa.

"Jawab, Qinar!" sahut Yudha membuat Qinar menoleh sempurna pada ayahnya.

Qinar menelan salivanya sebelum ia berkata, "Cuman jatoh disekolah."

"Jatoh kok sampe tangan diperban gitu?" tanya Arga dengan mata memicing. "Jidat lebam lagi, kamu kena bully disekolah?"

Qinar mencoba bersikap tenang, jika ia menceritakan apa yang terjadi kemarin, mungkin Arga akan marah dan ia tak tinggal diam. Jika Arga melabrak Edgar atas apa yang telah dilakukannya padanya, alamat nasib Qinar yang jadi ancaman disekolah.

"Gak, jatoh doang," singkatnya tanpa menatap mata Arga.

"Tapi ak-"

"Sudahlah, Arga, jangan diperpanjang, lagian Qinar kan udah bilang dia jatoh," potong Yudha, "kamu harus lebih hati-hati lagi, Qinar."

Qinar mengangguk singkat, ia pun mulai memakan sarapannya dengan tenang. Semoga hari ini jauh lebih baik dari kemarin, karena ia tak ingin ketenangannya terganggu.

"Minggu depan kamu harus ke rumah sakit buat cek kesehatan, beberapa hari ini Ayah liat kamu sering mimisan, Arga akan mengantar mu. Jadi, Ayah harap kurangi keluar malam." Setelah mengatakan itu Yudha bangkit dari duduknya dan langsung berlalu meninggalkan kedua anaknya.

Qinar menundukkan wajahnya dengan ekspresi sulit diartikan. Mungkin ayahnya tau kalau selama ini ia sering live diberbagai tempat. Arga yang melihat itu pun mengelus kepala adiknya pelan.

"Ini alasan kenapa Kakak gak mau kamu terluka ataupun sakit, kamu jangan sedih, Ayah gak akan tau semuanya kok," tutur Arga lembut.

Qinar mengangguk lemah, jika ia tak bekerja sampingan ia akan menyulitkan ayahnya juga kakaknya. Sedang disisi lain, ia harus menuruti permintaan ayahnya yang melarangnya keluar malam.

"Ayo berangkat," ajak Arga setelah melihat Qinar yang mengakhiri sarapannya dengan meneguk segelas susu. "Kakak udah taruh bekal kamu di tas."

Qinar mengangguk, sebelum itu ia mengenakan sweater merah maroon nya dan pergi menyusul Arga yang lebih dulu keluar rumah.

***

Kedua kaki Qinar membawanya menuju ketempat favoritnya. Taman belakang sekolah, tiada tempat yang menyejukkan dan menenangkan selain tempat itu. Diwaktu istirahat seperti ini, Qinar memang jarang pergi ke kantin, ia lebih memilih menghirup udara segar dibanding harus berdesak desakkan mengantri makanan dikantin. Untuk itu, Arga selalu memberinya bekal.

Sesampainya disana, ia duduk dibangku dengan buku Tere Liye yang berada ditangannya. Sweater yang masih membungkus tubuhnya membuatnya tak bisa merasakan semilir angin yang bertiup. Tapi, itu sama sekali tak mengganggu ketenangannya.

Ia tersenyum tipis, bahkan sampai tak terlihat jika ia sedang tersenyum. Ia menghampiri dua anak kucing yang menarik perhatiannya itu. Ia kemudian mengambil bekalnya yang tadi ia letakkan dibangku dan membaginya dengan anak kucing tersebut.

Untunglah anak kucing itu mau menerima sepotong ayam yang ia berikan dan memakannya. Tangannya mengelus kedua anak kucing itu secara bergantian. Bulu lembut yang ia rasakan ditangannya membuatnya tak ingin berhenti untuk mengelus hewan kecil berbulu halus itu.

My World (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang