Empat Puluh Empat

959 53 3
                                    

Lo benar, cinta emang butuh perjuangan. Tapi coba pake otak, buat apa perjuangin seseorang yang sama sekali nggak mengharap sebuah perjuangan.

***

Qinar sudah siap dengan seragam sekolah yang melekat ditubuhnya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin full body didepannya. Kemudian, ia meraih lip balm dimeja riasnya dan mengoleskan di bibirnya yang pucat.

Tak lupa pula ia mengambil beberapa obat yang beberapa hari ini memang menjadi penolongnya dan langsung ia masukkan ke tas sekolahnya. Serasa hidupnya bergantung dengan kapsul kapsul itu.

Dirasa selesai, gadis remaja itu segera turun dari kamarnya. Sesampainya dilantai bawah, tepatnya diruang makan sama sekali ia tak menemukan kedua orang tuanya maupun Edgar. Ia berpikir kemana perginya kedua orang tuanya pagi pagi seperti ini.

"Non?"

Qinar yang merasa terpanggil spontan langsung menoleh dan mendapati wanita paruh baya yang sekarang sudah berdiri didepannya. Dari penampilannya sudah bisa Qinar tebak kalau wanita itu adalah asisten rumah tangga baru disini. Sebelumnya, mama ataupun papanya tidak pernah menyewa asisten rumah tangga, tapi mengapa tiba tiba mereka menyewa pembantu?

"Perkenalkan, Non, nama saya Arum. Asisten baru dirumah ini, panggil saja Bi Arum." Bi Arum mengulurkan tangannya berniat untuk berjabat tangan dengan gadis didepannya.

Qinar menyelipkan rambutnya kebelakang telinga dan membalas jabat tangan Bi Arum. "Qinar."

Bi Arum tersentak begitu merasakan dinginnya tangan Qinar. Perlahan ia mendongak dan menatap wajah pucat Qinar yang lebih persis seperti mayat hidup dan lebih parahnya rambut panjang Qinar yang tergerai dan menutup sebagian wajahnya. Sontak Bi Arum melepas jabat tangannya dan tubuhnya gemetar hebat.

Qinar yang menyadari perubahan raut wajah Bi Arum pun mulai paham kalau pembantunya itu ketakutan saat ini. Gadis itu menghela napasnya pelan. "Jangan takut sama aku."

Suara yang terdengar dingin dan datar itu semakin meyakinkan Bi Arum kalau benar yang dikatakan Hera sebelumnya kalau Qinar memiliki kepribadian tersendiri dan ia tidak boleh takut akan hal itu.

Ia memaksakan diri untuk menatap wajah Qinar. "Iy–iy–ya, Non."

Qinar berjalan menuju meja makan dan duduk disalah satu kursi seraya sibuk mengolesi rotinya dengan selai kacang kesukaannya. "Kemana semuanya?"

Bi Arum mendekat kearah Qinar. "Nyonya sama Tuan kembali ke Luar Negri, Non. Den Edgar udah dari tadi berangkat sekolah."

Qinar menganggukkan kepalanya, ia pun menyudahi sarapannya dan langsung bangkit dari duduknya. Bi Arum memberikan kotak bekal pada Qinar dan langsung diterima oleh gadis itu.

"Nyonya bilang, Non Qinar gak pernah makan dikantin dan biasa bawa bekal sendiri. Jadi Bibi buatin bekal buat Non."

"Makasih, Bi." Setelah memasukkan kotak bekalnya ke dalam tasnya, ia bergegas keluar dari rumah dan segera menuju sekolah dengan diantar oleh supir pribadinya.

Bi Arum menghela napasnya lega sembari mengelus dadanya. "Haduh! Kok ada ya majikan nakutin kayak gitu. Perawakan kayak Mbak kunti, tapi harus bisa biasain diri. Yakin aja lah kalo Non Qinar manusia biasa."

***

Sedari tadi Valdo hanya melamun sambil memainkan bolpoinnya. Ia menopang dagu dengan pandangan lurus ke depan, namun sama sekali tidak memperhatikan guru yang sedang menerangkan materi didepan.

Tuk!

"Awsh!" Valdo mengelus kepalanya yang baru saja ditimpuk dengan sebuah bolpoin yang tak ia ketahui siapa pelakunya. "Iseng banget sih nih orang! Timpuk gue pake bolpoin."

My World (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang