Empat Puluh

1K 54 2
                                    

Aku melepaskan meski sesuatu itu tak pernah ku genggam dengan nyata. Aku melepaskan meski ku tau semua itu akan sia sia.

***

Qinar berjalan perlahan dengan kertas yang ada ditangannya. Rasanya ia lemah saat membaca hasil diagnosa tersebut. Tangannya gemetar hebat dengan butiran keringat yang mulai terlihat dipelipisnya. Ia pun perlahan duduk dibangku rumah sakit tepat didepan raung dr.Risty.

Dan benar saja, Qinar divonis menderita Hemofilia. Entahlah, hidupnya begitu rumit dan ia pun sudah tak sanggup menopang semua keluh kesahnya sendiri. Ia tersenyum hambar seraya menatap kertas putih yang masih ada ditangannya.

"Hemofilia sejenis penyakit yang disebabkan karena kurangnya protein dalam tubuh. Dan setelah saya periksa, tubuh kamu memang kekurangan protein, Qinar."

"Biasanya penyakit ini disebabkan karena faktor genetik, untuk itu saya juga harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut, mungkin salah satu keluargamu ada yang menderita?"

Qinar menghela napasnya pelan, "Tidak ada yang menderita Hemofilia selain aku."

Tiba tiba Qinar merasakan seseorang menpuk bahunya pelan. Mau tak mau ia menoleh kearah sampingnya yang ternyata sudah berdiri dr.Risty yang tengah tersenyum padanya.

"Benar begitu, Qinar?" tanya dr.Risty seraya duduk disebelah gadis itu.

Qinar menjawabnya dengan anggukan kepala. "Aku bukan gadis normal pada umumnya."

"Semua manusia tak ada yang sempurna, Qinar. Dan semua pun memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing," kata dr.Risty.

"Yang ku miliki hanya kekurangan."

"Kenapa kamu bilang gitu?"

Qinar menatap sendu dr.Risty. "Gangguan kepribadian dan Hemofilia sudah cukup untukku."

Dr.Risty tersenyum kearah Qinar. "Ada yang lebih parah darimu diluar sana. Mereka yang tak bisa bicara pun ingin bicara sepertimu. Dan mereka yang tengah menderita kanker pun ingin sembuh."

"Kamu lihat gadis remaja disana?" dr. Risty menunjuk seorang gadis remaja yang sudah tak memiliki rambut sehelai pun dan tengah duduk dikursi roda dengan wajah yang dihiasi tawa gembira.

Qinar pun melihat arah jari telunjuk dr. Risty, ia pun melihat apa yang dokter itu lihat. Seketika hati nya tertegun melihat sosok gadis tangguh itu.

"Namanya Arin, dia pasien saya. Dia mengidap sakit kanker stadium akhir. Hingga rambutnya rontok dan habis dan hanya menyisakan kulit kepalanya saja. Tapi kamu lihat, disisa hidupnya dia gunakan untuk membuat kedua orang tuanya bahagia, dan melupakan sakitnya. Seolah olah dia sehat, dan dia tau kalau Malaikat Maut selalu bersamanya hingga saat ini, kapan pun Malaikat Maut akan mengajaknya untuk pulang, tapi lihat yang Arin lakukan."

Qinar menatap lekat kearah gadis yang sedari tadi tengah bercanda dengan kedua orang taunya seolah olah dia memang sehat. Tapi keadaannya tak menunjukkan demikian. Wajah yang sudah pucat, tubuh yang sudah tak berdaya untuk berdiri hingga membutuhkan kursi roda. Tetapi gadis tangguh itu masih menunjukkan keceriaannya karena ia tau tak selamanya ia bisa bercanda dan tertawa lepas dengan Ayah Ibunya.

Seperti tertampar begitu keras saat Qinar mendengar tawa gadis itu. Tawanya yang indah dan senyumnya yang damai. Disisa hidupnya yang gadis itu lakukan hanyalah membuat kedua orang tuanya melupakan sakitnya. Tak pantas bila Qinar disandingkan dengan gadis tangguh itu.

"Setiap harinya dan setiap bulannya dia habiskan biayanya untuk operasi dan cuci darah. Tapi tak ada perubahan sama sekali, setidaknya dirinya tak merasa kesakitan dibagian kepalanya jika ia rutin cuci darah. Dan setelah divonis dia menderita kanker stadium akhir, sudah tak ada harapan lagi baginya dan ia hanya pasrah dengan kehendak yang Kuasa," kini dr.Risty kembali bersuara.

My World (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang