Delapanbelas

1.2K 65 0
                                    

Kamu kuat, setidaknya karena dicintai oleh dirimu sendiri.

***

Perlahan Qinar membuka matanya, ia terkejut dengan kehadiran kakaknya. Ia menoleh pada Valdo dan juga Firza yang ada disana pula, wajah mereka tampak menyiratkan kekhawatiran, terkecuali Firza yang malah tampak takut menatap Qinar.

"Kamu gak pa-pa kan, Dek?" tanya Arga seraya menangkup wajah Qinar.

Qinar menggeleng pelan, hingga ia pun menyentuh hidungnya yang terasa mengeluarkan sebuah cairan. Arga menyodorkan sapu tangannya dan Qinar mengelap darah yang keluar dari hidung.

"Kamu tadi pingsan?" tanya Arga seraya membantu Qinar mengemasi bukunya yang sempat ia keluarkan dari dalam tasnya tadi.

Qinar menggeleng lagi. "Tidur."

"Tidur kayak orang pingsan," sahut Firza yang dibalas tatapan malas oleh Valdo.

"Iya, Kakak kira kamu pingsan," tambah Arga.

"Lo kenapa bisa kekunci disini?" tanya Valdo yang tak ditoleh oleh Qinar.

Qinar sempat memikirkan sesuatu. Ada sesuatu hal yang belum ia ketahui, mana mungkin penjaga sekolah mengunci dirinya sedangkan ia masih ada didalam dan penjaga sekolah pun pasti tau kalau Qinar berada diruang musik tersebut.

Flashback

Saat Qinar tengah memetik gitarnya dengan lembut, ia sama sekali tak menghiraukan suara perdebatan yang ia dengar diluar. Bahkan, ia sampai menyumpal salah satu telinganya dengan earphone. Dia tau kalau Edgar dan juga Erren tengah debat diluar.

Hingga akhirnya ia mendengar suara rintihan Erren, celah gorden yang sedikit terbuka membuatnya dapat melihat seseorang yang ada diluar, setelah itu pun ia sudah tak mendengar apapun lagi dan sudah mulai kembali memainkan gitarnya.

Setengah jam berlalu ia habiskan untuk bermain gitar diruang tersebut. Diliriknya jam dipergelangan tangannya menunjukkan pukul tiga lebih lima belas. Pasti saat ini Arga sudah menunggunya di gerbang, ia pun segera berkemas dan menaruh kembali gitar tersebut ke tempatnya.

Ia berjalan ke arah pintu dan menarik knop pintu tersebut namun gagal. Beberapa kali ia mencoba membuka pintu tersebut namun tak ada hasilnya, pintu tetap tertutup rapat. Qinar beralih menengok kearah jendela, membuka gordennya dan berharap ia melihat seseorang yang bisa membantunya keluar dari sini. Berkali kali pula ia mengetuk kaca jendela tersebut mencari pertolongan, namun nihil.

Tetapi, sekolah yang sudah sepi menandakan kalau saat ini tak ada satu orang pun yang masih berada disekolah. Ia menghela napasnya pasrah, ditutupnya kembali gorden jendela itu. Ia mengusap wajahnya bingung, bagaiman caranya agar ia bisa keluar dari sini. Dan siapa yang telah menguncinya dari luar?

Ia kemudian teringat akan Arga, hingga ia pun mengeluarkan ponselnya. Helaan napas berat terdengar saat ia tak bisa membuka ponselnya. Apakah ini yang dinamakan sial? Terkunci diruang musik, ponsel mati karena ia lupa membawa charger.

Dan sepertinya ia akan terjebak disini semalaman. Tak ingin terlalu memikirkannya, ia pun beralih menuju bangku yang ada disana dan mengeluarkan novel kesukaannya yang belum sempat ia selesaikan dan mulai membacanya. Qinar memang terlalu santai dalam menghadapi segala hal seperti saat ini, bukannya mencari bantuan, ia malah asyik membaca novelnya.

Dalam pikirannya, lagipula sekolah sudah sepi siapa yang akan membantunya disini. Berteriak minta tolong? Bahkan ia malas membuang buang suaranya. Hanya ada satu kemungkinan seseorang yang menguncinya disini, Erren. Itu pasti dia, tapi Qinar tak ambil pusing besok juga dia akan keluar dari sini.

My World (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang