Aku bisa menjadi sedingin es atau sepanas api, tapi aku juga bisa menjadi sesejuk embun pagi. Itu semua tergantung bagaimana cara aku diperlakukan.
***
"Mungkin mulai saat ini, sikap gue ke elo bakal berubah."
Hening.
Perlahan, Qinar melepas tangan Edgar dan Edgar pun menyadari kalu gadis itu tak nyaman hingga ia pun melepaskannya. Tiba tiba saja Qinar berjalan mendahului Edgar dan tak memperdulikan cowok itu sama sekali.
Sesaat kemudian, Qinar menoleh setengah dan berkata pada Edgar, "Jalanin sendiri."
Edgar hanya bisa menatap punggung Qinar yang semakin menjauhinya. Helaan napas terdengar, mungkin barusan yang ia lakukan sudah membuatnya tak nyaman, dan ia baru sadar kalau Qinar bukan cewek seperti pada umumnya yang bila hanya disentuh tangannya tak akan menolak.
"Bahkan tangannya sedingin es, pertanyaan gue dia manusia apa mayat hidup?" pikir Edgar saat ia ingat dirinya tersentak saat menyentuh punggung tangan Qinar. "Apa dia marah gegara gue sentuh tadi sama apa yang barusan gue bilang?"
Edgar mencoba berpikir keras mengenai ucapannya tadi, apanya yang salah? Ia hanya mengatakan kalau ia akan merubah sikapnya padanya, bukan berarti ia menyukainya. Yang awalnya ia membenci Qinar dan ingin selalu menganggunya, maka mulai saat ini ia akan lebih menghargai cewek itu.
"Tapi apa perduli dia kalo gue bilang kek gitu?" Edgar mengusap wajahnya frustasi. "Kenapa pas gue liat matanya itu banyak banget pertanyaan yang bersarang di kepala gue, dia itu ceweknya susah ditebak, aneh, serem lagi baru sadar gue."
Edgar menggelengkan kepalanya, hingga ia pun memutuskan pergi dengan kursi rodanya untuk menyusul Qinar. Jika ia bisa berjalan dan tak membutuhkan orang lain, mungkin saat ini ia memilih pulang dengan taksi dibanding harus merepotkan orang lain.
Sedang disisi lain, Qinar berjalan masuk ke ruang ICU dimana ayahnya dirawat. Tanpa mengucap salam ia masuk begitu saja dan mengejutkan ayah dan kakaknya karena datang secara tiba tiba.
Kepala Arga celingukan seperti mencari sesuatu. "Dek, temen kamu tadi mana?"
Qinar menghampiri Yudha dan mencium punggung tangan Ayahnya. "Gak tau."
Arga mengerutkan alisnya. "Kok gak tau? Kan tadi Kakak bilang abis nganterin dia periksa langsung bawa kesini gak pa-pa."
"Emang Qinar tadi bawa temen kesini?" tanya Yudha.
"Iya, tadi tuh Qinar nolongin temennya yang jatuh dari motor, yaudah sekalian Arga bawa ke rumah sakit. Tapi sekarang entah ditinggal Qinar dimana," cerocos Arga yang dibalas anggukan oleh Yudha.
Yudha melihat Qinar yang tampak tenang. "Nar, kamu gak boleh terlalu masa bodo sama orang, apalagi posisinya orang itu sedang butuhin kita harusnya kamu perduli sama dia."
"Ayah gimana?" tanya Qinar mengalihkan pembicaraan.
"Jangan mengalihkan pembicaraan, Qinar!" tegas Yudha. "Arga, mending kamu cari dulu temen Qinar dan bawa dia ikut kesini."
"Iya, Yah."
"Permisi?"
Arga yang hendak keluar langsung menghentikan langkahnya begitu melihat seseorang datang dengan kursi rodanya. Ia menghela napas lega dan langsung mempersilahkan Edgar masuk.
"Gimana tadi kata dokter?" tanya Arga pada Edgar.
Edgar tersenyum singkat. "Gak terlalu parah sih, Bang. Cuman katanya harus nunggu satu atau dua hari buat bisa jalan normal lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
My World (Complete)
Dla nastolatków"The unspoken chapter in my life." Dia memiliki paras cantik, tatapan matanya tajam dan membunuh. Ada ribuan pertanyaan kala menatap manik mata indahnya. Dia Qinar, gadis dengan segala kemisteriusan dalam hidupnya. Dia adalah salah satu dari rib...