MG; empatbelas

2.7K 183 4
                                    

Lewat, datang, lalu pergi. Pergi kembali tanpa peduli.
--REDAM

****

Rani turun dari mobil Deril. Sekarang Rani berada di rumah mamanya. Dan suami barunya itu. Ayah Deril, Devan.

Awalnya Rani tidak percaya bahwa Deril adalah anak tiri mamanya dan kini menjadi saudara tirinya. Karena saat di acara pernikahan Rani tidak hadir. Dia bersama papanya kala itu.

"Ayo masuk, muka lo pucat." Deril menarik tangan Rani spontan. Rasanya malas jika menemui mamanya dengan keadaan mendadak. Apalagi dalam keadaan yang kurang sehat.

"Ma," panggil Deril saat melihat mamanya sedang berkutat dengan dapur.

Yana--mamanya menoleh dan terkejut saat melihat kedatangan Rani. Langsung dia memeluk anaknya itu. Menghapus kerinduan di antara mereka. Mengingat sudah lama mereka tidak bertemu. Hal itu membuat mamanya menangis haru. Namun melihat wajah putrinya yang pucat, Yana khawatir.

"Rani, kamu sakit?" tanya Yana sambil mengecek kening Rani yang panas. "Deril, tolong ambilin kotak obat sama minum." Yana menuntun Rani untuk duduk agar kepalanya tidak pusing.

"Ma," suara Rani terdengar serak.

"Apa Sayang?" Yana mengelus kepala Rani. Sudah lama tidak kejadian itu terjadi. Dan sekarang terjadi lagi.

"Kenapa baru sekarang?"

Yana tahu apa yang dimaksud anaknya itu. Dia butuh penjelasan. "Mama takut kamu kecewa. Selama ini mama bukan nggak mau ketemu kamu, tapi mama takut. Takut kamu benci mama." Yana mengambil obat yang diberi Deril. Lalu memberikannya pada Rani. "Minum dulu obatnya," suruh Yana pada anaknya.

Rani meminumnya, lalu bersandar kembali dibahu mamanya. Yana merasa haru mengetahui anaknya tumbuh secepat ini. Andai dia tidak bercerai dengan sang mantan suami. Pasti Rani akan tumbuh layaknya keluarga utuh.

"Selama ini Deril selalu pantauin kamu dari jauh," ucap Yana memberitahu. Rani mencerna dengan baik.

Rani menatap Deril tajam. "Dasar penguntit," tuduhnya.

"Sembarang. Ini perintah mama, kalo nggak mana mau gue ngikutin lo tiap hari. Mana lo jalan sama om-om lagi." Deril membela diri. Dia mendapat tatapan tajam saat menyebut om-om.

"Om-om? Siapa dia?" Yana--mama bertanya.

"Om-nya Zira ma, dia baru pulang dari luar negri."

"Oh. Ya sudah kamu istirahat di kamar dulu. Biar mama buatin sup kesukaan kamu."

Rani tersenyum sembari mengangguk. Baginya mamanya terbaik. Tidak pernah lupa apa yang dia suka.

"Deril, kamu tolong bantu Rani ke kamar. Kamar sebelah kamu kosong, di situ aja. Tadi udah mama bersihin." Yana membantu Rani untuk berdiri. Begitupun Deril.

Deril memegang pundak Rani agar bisa menahan tubuhnya.

"Lemah banget lo," cibir Deril.

"Bacod."

Deril tertawa. "Mulutnya tolong di jaga."

Rani memutar mata malas. Apalagi saat tahu dia harus menaiki anak tangga untuk menuju kamar.

"Der, gendong," pinta Rani.

"Yang bener aja gue gendong lo. Badan lo berat Ran," keluh Deril.

"Gue nggak kuat naik tangga. Pen mabok. Ntar gue jatuh gimana." Rani terlihat memelas. Dia malas.

Dengan berat hati Deril menggendong Rani. Badannya berat, Deril berusaha kuat.

"Berat lo berapa Ran?" Deril merasa keberatan menggendongya.

I'm Yours Last [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang