Disepanjang koridor sepasang mata menatap kearah Rani. Dia menggeleng dan menghela nafas dalam-dalam agar bisa mengontrol emosinya.
Namun tatapan mereka berbeda. Tidak seperti diawal yang menatapnya dengan sengit. Namun kali ini dengan senyuman. Ada apa?
"Hai, Ra," sapa salah satu siswi seangkatannya.
Rani menanggapinya dengan tersenyum. Bukan satu atau dua orang, hampir rata-rata semua murid menyapanya dengan ramah.
Dengan cepat Rani bergegas menuju kelasnya. Zira pun kaget mendapati Rani tiba-tiba duduk disampingnya.
"Woi, Ra, lo kenapa sih?" tanya Zira dengan herannya.
Zira menempelkan tangannya dikening Rani. Memeriksa keadaan gadis itu.
"Sehat, lo enggak sakit." Zira tidak mendapati panas maupun hangat dikening sahabatnya.
"Kan gue udah sembuh, Zi." Rani menyengir.
"Terus lo kenapa? Ekspresi lo tadi kaya orang habis ketemu kucing mati tau enggak."
"Sembarangan." Rani menjitak lengan Zira, namun pelan. Dengan kenyamanan hidup Zira sama sekali tidak membalas. Akan panjang jika hal itu dia lakukan. "Gue tuh heran sama anak-anak. Kok beda gitu tatapannya. Mereka nyapa gue tadi," jelas Rani.
"Oh, itu." Dengan santai Zira menjawabnya.
"Apanya?" Rani mengeryit tidak paham.
"Riski udah jelasin semuanya. Dia ngaku."
"Kok lo enggak kasih tau gue?" tanya Rani dengan kesal sekaligus senang mendapati kabar ini.
"Biar surprise."
Rani beranjak dari kursi. Dia hendak menemui Riski untuk berterimakasih.
"Gue mau ketemu Riski, Zi."
"Udah mau bel, istirahat aja," ucap Zira memberi saran.
Tidak lama dari itu bel pun berbunyi. Rani mengurungkan niatnya dan kembali duduk.
****
Saat jam istirahat tiba Rani merasakan sakit di area pinggangnya. Walaupun keadaannya seperti ini, Rani tetap berusaha kuat. Dia tidak ingin ada kecurigaan saat Zira melihatnya. Rani pun mengajak Zira keluar dan melanjutkan langkahnya mencari sosok Riski.
"RISKI!" teriak Rani tanpa malunya di area koridor menuju kantin. Dia pun berjalan mendekati lelaki itu.
"Kenapa, Ra?" Dengan datarnya Riski menjawab.
"Makasih. Makasih udah mau jujur ke anak-anak."
Seperti ada antena yang membuat Riski paham apa yang dikatakan gadis dihadapannya. Riski tersenyum melihat Rani seperti ini. "Lo gak salah, gue yang salah."
"Ra," tangan Riski berusaha menggamit tangan Rani. Namun Rani menolak dan segera menjauh.
"Lo mau apa?" Dengan tatapan ngeri Rani bertanya atas perlakuan Riski.
"Gue udah selesain semuanya, lo maafin gue, kan?" Rasa bersalah selalu jadi hal utama jika sudah menyakiti seseorang. Riski merasakannya sekarang. Pada Rani, cinta pertamanya.
"Gue ... iya gue maafin lo." Tidak baik jika tidak memaafkan orang yang sudah meminta maaf pada kita.
Akhirnya. Riski tersenyum lega. "Gue sayang sama lo, Ra. Please, balas perasaan gue," ungkapnya.
Perkataan Riski membuat hati Rani berdesir. Bukan perasaan suka, melainkan takut.
"Makasih udah sayang sama gue. Tapi ... gue enggak bisa balas perasaan lo."
Ditolak secara terang-terangan membuat Riski tersenyum getir. Ternyata mencintai sesakit ini.
"Kenapa?"
"Gue udah punya pacar."
Riski menggeram frustasi dihadapan Rani.
Zira yang sedari tadi diam bergerak mendekati Riski. Ia memberanikan diri memegang bahu lelaki itu. Berusaha menenangkannya.
"Ris, lo harus trima keputusan Rani. Perasaan orang enggak bisa dipaksa," ucap Zira yang merasa kasihan pada Riski. Hal ini mengingatkannya tentang drama yang ia tonton semalam.
Riski tertawa sumbang mendapati Zira mengatakan seperti itu. Namun ia tahu bahwa yang dikatakan Zira adalah benar. Riski harus tahu diri. Cinta tidak bisa dipaksa.
"Thanks, Zi. Gue paham sekarang." Riski menegakkan kepalanya beralih menatap Rani. "Ra, gue mau jadi teman lo."
Rani mengembangkan senyumannya. Tidak masalah jika menjadi teman. Riski pasti akan mendapat yang lebih baik darinya. "Jadi teman enggak harus minta izin. Sekarang kita teman," ucap Rani.
"Thanks. Enggak salah gue suka sama lo. Cantik dari hati. Sorry gue udah nyakitin lo."
"Jangan minta maaf terus gue udah maafin lo."
Memiliki teman yang banyak adalah harapan Rani sejak dulu. Masa bodo dengan apapun. Rani tidak pandang hulu untuk berteman. Asal jangan nusuk dari belakang. Semua orang pasti tidak akan suka jika temannya berkhianat.
Tiba-tiba Rani merasakan sakit teramat sakit dipinggangnya. Ia tidak bisa lagi menahannya.
"Ra, lo kenapa?" Khawatir Zira yang melihat Rani kesakitan memegang pinggangnya.
"Zi, gue enggak kuat. Please telponin om lo." Setelah mengatakan itu Rani jatuh pingsan.
"RA!"
Tanpa pikir panjang Riski langsung membopong Rani menuju UKS. Hal itu menjadi pusat perhatian untuk semua murid. Tatapannya menjerumus pada kata-kata, ada apa?
Di ujung koridor Deril tidak sengaja melihat hal itu. Dengan cepat ia berlari menghampiri Riski yang sedang membopong adiknya. Rasa khawatir kembali menjalar dalam dirinya. Selalu begitu saat ia dekat dengan gadis itu.
"Rani kenapa, Zi?" Deril menggeram saat tidak mendapat jawaban dari Zira.
Zira masih berusaha menghubungi om-nya. Namun tidak bisa.
"Zi!"
Aksi Zira terhenti. Ia menoleh ke arah Deril yang menatapnya dengan marah.
"Gue tanya Rani kenapa?!" Deril bersuara tinggi.
"Gue juga enggak tahu dia tiba-tiba pingsan!"
Deril menggeram lalu pergi menemui Riski yang telah membawa adiknya ke UKS.
Berbeda dengan Zira yang kembali berusaha menghubungi om-nya, Adam.
Terhubung.
"Om tolong om Rani pingsan di sekolah."
--REDAM--
Makasih buat yang masih setia nunggui cerita ini.
Aku minta tolong banget, please Share-in cerita ini ke teman-teman kalian. Masalah Votmen itu belakangan.
Siiuu next part.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Yours Last [END]
Teen FictionAWAS BAPER ⚠️ "Suka sama Om-Om? Bodoh amat. Orang gue yang suka," kata Rani kesal. Menyukai seseorang tidak ada salahnya, kan? Lagipula itu adalah hak seseorang. Terserah kalian mau bilang apa. Bagi Rani, laki-laki dewasalah yang pantas menjadi pen...