MG; tigadelapan

1.8K 112 2
                                    

Adam tampak senang saat melihat Rani terbangun dari pingsannya.

"Kenapa, ada yang sakit?" khawatir Adam yang berdiri memeriksa keadaan gadisnya.

Rani menggeleng, ia tersenyum melihat Adam sangat khawatir padanya. Lelaki itu benar-benar datang dan membawanya kerumah sakit.

"Makasih," ucap Rani dengan suara lirihnya.

"Kamu benar-benar buat saya khawatir." Tangan Adam mengusap puncak kepala Rani dengan lembutnya.

"Maaf," ucap Rani lagi, namun dengan nada bersalah.

Adam menggeleng, "Saya yang salah," lalu tersenyum singkat. "Ada banyak waktu yang ingin saya habiskan dengan kamu," digenggamnya tangan Rani.

"Kenapa aku?"

"Cuma kamu yang ada dihati saya sekarang."

Tangan Rani bergerak membalas genggaman Adam ditangannya. Suasana berubah menjadi hangat. Jika tidak dalam keadaan sakit, mungkin Rani akan melompat tidak jelas karena sudah diperlakukan seperti ini oleh Adam.

"Adam," lirih Rani. "Aku masih ada dua permintaan lagi kan sama kamu?"

Adam sangat jelas mengingat hal itu. Permintaan yang Rani minta saat mereka bertemu diacara pertunangan Rendi, kakaknya Zira.

"Aku mau minta satu permintaan," lanjut Rani.

"Apa?" Adam menampakan wajah penasarannya. Namun hatinya harap-harap cemas.

"Kamu jangan khawatirin aku terus, aku enggak papa."

Permintaan apa itu? Rasa khawatir datang saat orang disekitar kita ada masalah, dan itu juga datangnya tiba-tiba. Bagaimana bisa Adam tidak mengkhawatirkan Rani yang jelas-jelas sakit parah.

"Saya tidak bisa." Adam mengusap wajahnya dengan gusar. "Rasa itu selalu ada saat saya bersama kamu," lanjutnya.

"Please. Aku enggak mau jadi beban kamu," balas Rani dengan nada lirih.

"Kamu prioritas saya."

"Tapi Adam," ucapan Rani terpotong karena Adam.

"Ubah permintaan kamu," tuntut Adam sedikit meninggikan nada bicaranya.

Rani menarik nafas dalam-dalam, lalu membuangnya secara perlahan. "Kenapa kamu gak mau? Padahal itu mudah," kata Rani.

Semeyakinkan itu?

"Mudah bagi kamu, susah bagi saya." Adam yang sudah terlanjur jatuh hati pada gadis dihadapannya tidak bisa melakukan hal itu. Karena cinta merubah segalanya.

Seketika jantung Rani berdebar tidak karuan. Sungguh Adam membuat dunianya seakan-akan terang. Rasa sakit pun tidak begitu terasa saat ia berada di dekat lelaki itu. Semoga waktunya untuk hidup masih panjang.

"Mulai besok saya tinggal sama kamu."

Deg. Rani tidak salah dengar, kan?

"Kamu jangan bercanda," balas Rani sembari membenarkan posisinya.

"Saya akan lamar kamu malam ini," imbuh Adam dengan santainya. Apa ia tidak tahu jika Rani dibuat tidak karuan karena ucapannya barusan?

Rani terkekeh, masih tidak percaya dengan Adam yang akan melamarnya malam ini. "Adam, apa kata orang nanti, emangnya mama kamu mau nerima aku yang penyakitan?"

"Mama enggak sejahat itu sampai nolak kamu jadi istri saya."

"Tunangan Adam," Rani membenarkan ucapan lelaki dihadapannya.

"Saya akan nikahi kamu secepatnya."

Sungguh Rani tidak bisa menahan tawanya. Apa yang dikatakan Adam terdengar lucu. Bukan hanya lucu, lebih ke arah ngawur.

Raut wajah Adam berubah menjadi heran mendapati Rani yang tiba-tiba tertawa. Padahal niatnya sungguh-sungguh untuk melamarnya.

"Aku tetap enggak percaya kamu mau lamar aku," ucap Rani masih dengan tawanya.

"Saya serius."

Rani terdiam.

Setelah ini apa yang akan terjadi?

****

"Sumpah demi apa gue masih enggak percaya om Rully bakal lamar lo," histeris Zira yang kini berada di dalam kamar Rani.

Rani mengembangkan senyum sembari membenarkan rambutnya. "Lo aja enggak percaya apalagi gue," balas Rani.

"Gimana ceritanya om gue bisa lamar lo? Pake pelet, Ra?" tanya Zira mengada-ngada.

Tidak akan Rani beritahu yang sebenarnya. "Gue enggak tahu. Pas gue bangun dari pingsan om lo langsung ngomong gitu," sembari memasangkan softlen dimatanya. "Lucu banget om lo," lanjutnya.

Zira mengaga mendengarnya. Secuek itu dibilang lucu?

"Fiks, lo pake pelet."

Rani memutar mata malasnya. Ia sangat gugup sekarang. Di bawah sana sudah banyak orang yang menunggunya. Malam ini, Rani akan dilamar Adam. Lelaki itu benar-benar mempersiapkannya secara matang.

Pintu kamar Rani diketuk.

"Biar gue yang buka." Zira beranjak dan membukakan pintu.

Deril. Lelaki itu berdiri dengan style yang padu. Dia menerobos masuk ke dalam kamar Rani, tidak peduli dengan umpatan yang Zira katakan. Melihat tampilan Rani yang sangat beda malam ini, membuat Deril menarik sudut bibirnya. Adiknya sangat cantik.

"Udah siap?" tanya Deril.

"Udah." Rani berdiri agar Deril melihat penampilannya yang modis.

Deril tersenyum dibuatnya. "Cantik."

"Makasih." Rani maju memeluk Deril. Tidak salahkan jika ia memeluknya?

Pelukan Rani yang tiba-tiba membuat debaran jantung Deril berdebar tidak karuan.

"Selalu jadi abang yang baik, Der. Gue sayang sama lo."

--REDAM--

Hai, masih mau baca REDAM? Ayo share cerita ini, please. Makasih yang udah share ya.

Follow IG ku @elsamhri__ kalo mau follback dm aja.

I'm Yours Last [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang