Adam segera berdiri saat mendapati Rani keluar dari ruangan dokter. Gadis itu habis cek up mengenai perutnya yang selalu sakit. Adam khawatir dengan gadisnya.
Tanpa pikir panjang Adam langsung menggenggam dan menarik Rani untuk keluar dari rumah sakit. Kecemasannya bertambah saat Rani tampak menyembunyikan sesuatu. Hal itu sangat jelas pada ekpresi gadisnya.
Guna menghilangkan kecemasan, Adam bertanya, "Apa yang kamu pegang?"
Dengan segera mungkin Rani menjawab, "Cuma resep obat," dan memasukkan lembaran yang dipegangnya ke dalam tas.
Saat di mobil, Rani sama sekali tidak bicara. Matanya menatap kosong ke depan. Tidak ingin Adam berpikir tidak-tidak terhadapnya, Rani menoleh menghadap lelaki tersebut.
"Adam," Rani mengulas senyumnya tanpa henti. Membuat Adam melekukan bibirnya, tersenyum.
"Kenapa?"
"Besok kamu jemput aku?"
"Saya ada meeting pagi."
"Jadi gak jemput?"
"Saya usahakan."
Rani menjawab cepat, "Gak usah, nanti kamu telat meeting nya," sambil menggeleng. Tidak enak hati jika harus merepotkan.
"Ya sudah."
Adam menoleh ke arah Rani sekilas, "Apa kata dokter?" membuat gadis itu mengubah ekspresi wajahnya, sendu. Hanya sebentar, setelah itu dia tersenyum kembali.
"Dokter bilang aku sakit maag. Katanya jangan telat makan. Padahal makan terus," ucap Rani sambil terkekeh pelan.
"Kebanyakan makan."
Rani tertawa. "Mana ada maag kebanyakan makan. Aneh kamu ya."
Tidak terima di ejek oleh gadisnya, Adam mencubit pipi kanan Rani dengan tangan kirinya. Menggemaskan.
Dengan segera mungkin Rani menjauhkan tangan Adam dari pipi tirusnya. "Adam jangan cubit pipi," rengek Rani tidak trima.
"Saya suka."
"Udah tahu," balas Rani dengan ekpresi kesalnya.
Ponsel Adam tiba-tiba berdering.
"Angkat," suruh Adam pada gadisnya. Sontak membuat Rani menatap heran. Tanpa pikir panjang gadis itu mengambil ponsel milik Adam dari tangan lelaki itu.
Rani menatap layar yang berdering ditangannya.
"Nomernya gak ada nama," ucap Rani memberitahu.
"Angkat."
Dengan cepat Rani menerima panggilan tersebut. Rani sengaja membesarkan volume agar Adam bisa mendengar.
"Halo, ini dengan siapa?" Rani bersikap sopan. Dia harus menjaga image dengan rekan Adam. Walaupun belum tahu itu rekan atau nomer nyasar.
"Lo siapa? Gue mau ngomong sama Adam!" Terdengar suara wanita yang menjawab dengan nada tak sopan.
Secepat kilat Adam merampas ponsel miliknya dari genggaman Rani dan mematikan panggilan tersebut.
"Kok dimatiin?" protes Rani tidak trima. "Emangnya dia siapa?"
Adam memilih diam.
"Adam," panggil Rani lagi. "Cewek barusan kenapa marah-marah?" Rani mencoba bertanya pelan.
"Bukan urusan kamu!"
Rani tidak percaya Adam akan membentaknya. Nadanya terdengar seperti orang marah. Meski lelaki itu selalu menunjukkan wajah datar.
Saat mobil Adam berhenti di depan rumah Rani. Gadis itu langsung turun tanpa mengucapkan sepatah kata. Adam merasa bersalah, ia turun mengejar Rani yang hendak masuk ke rumah.
"Rani tunggu saya." Adam menahan tangan gadis itu agar berhenti.
"Apalagi, sih?"
"Jangan marah."
Rani melepaskan tangan Adam dari tangannya. Ia bisa saja senang, namun kurang tepat jika saat ini. "Aku enggak marah. Kamu kalo mau ketemu sama cewek itu ketemu aja."
"Gak."
"Oh, ya udah, kalo gitu aku masuk mau istirahat. Makasih udah dianterin." Rani dengan cepat masuk ke dalam rumah.
Adam merasa frustasi. Ia segera menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Hal inilah yang membuat Adam tidak ingin menjalin hubungan dengan wanita. Selalu merasa bersalah saat wanita yang dia cinta marah.
Ponselnya kembali berdering.
"Arrgh!"
Dengan terpaksa ia mengangkat panggilan tersebut. Masih dengan nomor yang sama.
"Adam, aku di rumah kamu."
--REDAM--
HEIO, UPDATE CHECK!
MAKASIH UDAH BACA. JANGAN LUPA VOTMEN & SHARE KE TEMAN KALIAN.SIU NEXT PART 🙆
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Yours Last [END]
Teen FictionAWAS BAPER ⚠️ "Suka sama Om-Om? Bodoh amat. Orang gue yang suka," kata Rani kesal. Menyukai seseorang tidak ada salahnya, kan? Lagipula itu adalah hak seseorang. Terserah kalian mau bilang apa. Bagi Rani, laki-laki dewasalah yang pantas menjadi pen...