MG; tigasembilan

1.7K 102 2
                                    

Kaum adam memuji dengan senang hati. Itu sangat di damba para kaum Rani. --REDAM

****

Semua pasang mata tertuju pada gadis yang kini sedang menuruni tangga. Rani, gadis itu terlihat sempurna dimata Adam. Tidak sedikit pun ia melihat Rani yang menahan sakitnya. Gadisnya sangat kuat bisa memanipulasi mata banyak orang.

Adam menghampiri gadisnya, membuat semua orang tidak bisa menahan senyuman. Adam menarik tangan Rani secara lembut agar bisa ia gandengkan dengan tangannya.

Acara pertunangan ini sengaja diadakan dirumah Rani. Ia menghubungi suruhannya agar mendekor rumah Rani dengan indah. Supaya gadis itu suka. Lagipula acara ini sangat tertutup, dan hanya dihadiri keluarga keduanya.

"Kamu cantik," bisik Adam tepat ditelinga Rani.

Bisikan Adam barusan membuat detak jantungnya berhenti sedetik. Rani menghela nafasnya, lalu membuang secara perlahan. "Makasih," Rani tersenyum. "Kamu idaman," lanjutnya.

Adam pun menuntun Rani untuk maju ke depan. Ia melihat jelas betapa gugupnya Rani saat berdiri ditengah keluarga yang berkumpul dalam satu acara.

Acara pun dimulai dengan meminta restu terlebih dahulu dengan keluarga. Adam terlihat gentle saat melakukan sesi ini. Setelah mendapat restu, barulah Adam bertanya pada Rani. Apakah gadis itu ingin melanjutkan hubungan ini dengan bertunangan terlebih dahulu?

"Rani, untuk pertama kalinya saya jatuh hati pada perempuan. Saya kira kamu orang yang tepat untuk itu." Adam menatap mata Rani dengan lekat. Tidak dapat dipungkiri lagi jika ia sangat gugup sekarang.

Adam membuka kotak cincin berwarna merah yang di desain khusus untuk gadisnya. Lalu, kembali tersenyum dihadapan Rani. "Keputusan saya sudah bulat. Saya mau kamu jadi tunangan saya. Iya atau iya?"

Pertanyaan apa itu? Tidak ada kata tidak untuk menolak.

Rani berpikir sejenak. Ia tampak ragu. Bagaimana bisa di umur 17 tahun, bahkan belum lulus sekolah ia sudah melakukan pertunangan? Hari ini adalah hari dimana ia harus mengambil keputusan berat. Semoga ini akan jadi yang terbaik.

"Iya. Aku mau," dengan lantangnya Rani menjawab.

Semua keluarga bertepuk tangan menyambut kebahagian ini.

Adam menarik Rani untuk masuk ke dalam pelukannya. Rasa bahagia menjadi bukti jika ia sukses dalam hal cinta.

Sial. Pelukan Adam membuat Rani gugup. Rani segera menjauh dari Adam.

Adam terlihat heran. "Kenapa?" tanyanya.

Wajah Rani bersemu merah bak kepiting rebus. "Malu," jawabnya. Bagaimana tidak, Adam memeluknya di depan keluarganya. Rasa ingin menghilang kini ada dibenak Rani.

Heri, menghampiri anaknya. Merasa haru atas kebahagian yang Rani rasakan. Tidak mengira jika Rani akan dilamar secepat ini.

"Rani," panggil Heri pada anaknya.

Rani menoleh, dan langsung memeluk papanya. "Papa," kata Rani yang nyaman dalam pelukan.

"Kamu tidak menyesal menerima Adam?" sangat jelas Adam mendengar pertanyaan itu.

Rani melepaskan pelukannya, sekilas ia melihat Adam yang masih setia dengan wajah datarnya. "Rani yakin Adam yang terbaik."

Kemudian tatapan Heri beralih ke arah Adam. Lalu berujar, "Adam, saya tahu kamu bukan pecundang. Teruslah buat anak saya bahagia. Saya yakin kamu bisa."

"Trimakasih, om." Adam mengulas senyumannya. "Saya akan buat Rani bahagia setiap harinya," tatapannya teralihkan ke arah Rani. "Om jangan khawatir."

Rani tidak henti-hentinya tersenyum mendengar ucapan Adam barusan. Belum menikah saja lelaki itu sangat romantis, apalagi sudah menikah, baper terus tiap hari Rani dibuatnya.

Rani pun berbincang-bincang dengan mama tirinya, Lita. Wanita itu sangat anggun, pantas saja papanya jatuh hati.

"Tante."

"Iya, sayang, kenapa?" Sudah tidak kaget lagi jika Rani memanggilnya tante. Lita tahu perasaan anak itu.

"Makasih udah jagain papa."

Lita mengusap pipi tirus Rani dengan lembut. "Mama yang harusnya makasih. Makasih udah trima mama kaya sekarang." Mengingat Rani waktu itu tidak setuju jika papanya menikah lagi.

Rani memeluk mama Lita dengan rasa nyaman. Saat itu juga ia melihat Yana, mama kandungnya datang. Rani pun melepas pelukannya dan berlari menghampiri Yana.

Yana merentangkan tangan dan memeluk putri kesangannya. Melepas rindu karena sudah beberapa hari tidak bertemu.

"Mama kenapa baru dateng?" tanya Rani dengan tampang cemberut. Sifat manja pun muncul jika sudah bersama mamanya.

"Mama baru aja pulang dari Semarang." Yana mengambil kotak dari dalam tasnya. "Lihat, nih, mama bawa ini buat kamu."

Rani mengambil kotak bewarna merah tersebut dari tangan Yana. Ia pun membukanya. "Kalung," gumam Rani.

Yana mengangguk, lalu tersenyum. "Sini mama bantu pasang."

Setelah kalungnya terpasang indah dileher, Rani pun mengajak Yana untuk bergabung bersama Heri, papanya.

Keadaan menjadi canggung seketika. Bagaimana tidak, pasangan yang sudah berpisah  kembali bertemu setelah sekian lama sama-sama menghindar. Lebih tepatnya membenci.

"Pa, Ma, anggap kejadian itu gak pernah ada." Rani menatap keduanya penuh harap.

"Baikan demi Rani, mau kan?"

--REDAM--

Lagi baik, makanya update cepat. Gak ada niatan buat share in? Makasih yang udah share.

I'm Yours Last [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang