Lupa diri.
Lupa kamu.
Lupa semuanya.
Mungkin akan lebih baik.
--REDAM****
"Kamu tahu apa yang dalam pikiran saya sekarang?"
Rani menggeleng pelan. Tubuhnya sangat lemah.
"Kamu." Adam menatap lekat wajah Rani yang menatapnya juga.
"Aku?"
"Kamu orang pertama yang buat saya khawatir." Adam membenarkan ucapannya. Tidak ada lagi sifat ego yang menguasai. Kini ia harus lebih mengubah diri, demi Rani. Hanya dia. Bukan yang lain.
"Kenapa?" tanya Rani yang semakin bingung.
"Lupain." Adam mengubah ekspresinya menjadi datar kembali. Ia tidak ingin terlihat menyedihkan di hadapan gadisnya.
"Kalo ngomong jangan setengah-setengah. Aku penasaran." Rani mengulas senyuman. Lekukan pada bibirnya membuat Adam juga ikut mengulas senyum. Lelaki itu sungguh penyemangat baginya.
"Jangan banyak bicara."
"Tapi aku mau denger jawaban kamu," balas Rani tak mau kalah. "Kenapa kamu khawatirin aku?"
Adam menghela nafas dalam-dalam, lalu berujar, "Saya takut kehilangan."
Perkataan Adam lantas membuat Rani tertawa. Tidak menyangka jika lelaki itu amat khawatir padanya. Bahkan takut kehilangan. Aneh. Padahal jika dibandingkan dengan perempuan lain, Rani tidak ada apa-apanya.
"Adam, kamu sukses buat aku ketawa." Rani tertawa hingga tidak peduli lagi dengan sakit yang ia rasakan.
"Saya suka ketawa kamu."
"Suka ketawanya aja, orangnya enggak?"
"Jangan lupa minum obat." Adam sengaja mengalihkan arah pembicaraannya agar Rani tidak melihat betapa gugupnya ia dihadapan gadis itu.
"Ditanya apa jawabnya apa," cibir Rani dengan rasa kesalnya. "Pinter banget ngalihin pembicaraan."
"Saya mau lamar kamu."
Rani tertawa sumbang kali ini. Perkataan Adam benar-benar membuatnya seakan terbang diatas awan. Tidak mungkin.
"Emang kamu mau ngurusin aku yang penyakitan?" tanya Rani. Jika Adam memilihnya menjadi teman hidup, ia pasti akan kesulitan mengurusnya.
"Percaya sama Tuhan."
"Tapi dokter bilang umur aku enggak lama lagi," balas Rani. Ekspresi wajahnya sangat memprihatinkan. "Liat badan aku gendutan."
"Gak masalah buat saya."
"Tapi masalah buat aku." Kondisi seperti ini membuat Rani benci.
Mencintai tidak butuh alasan. Adam mencintai Rani dengan tulus, tidak peduli dengan penyakitnya. Dia yakin Tuhan akan menyembuhkan penyakit Rani. Ah, Adam hampir gila memikirkan ini.
"Sejak kapan kamu sakit?" tanya Adam.
"Aku harus jawab?" Mau bagaimana lagi Rani harus menjelaskannya.
"Saya butuh jawaban."
"Tapi ... tolong jangan kasih tahu Zira," pinta Rani dengan penuh harap.
"Saya janji." Lelaki yang baik adalah ia yang dapat dipercaya. Adam salah satunya.
Dengan berat hati Rani harus memberitahu Adam yang sebenarnya. "Setahun yang lalu."
"Cerita sama saya."
Rani menggeleng. Dia takut.
"Saya pantang ingkar janji."
"Aku tahu," balas Rani. Dia mulai bercerita. "Setahun yang lalu aku kecelakaan. Motor aku ditumbur sama mobil truk. Beruntung aku selamat. Seminggu aku dirumah sakit keadaan aku membaik, luka-lukanya sembuh. Sekitar satu bulanan aku dirumah, perut sama pinggang aku kayak ada yang nusuk. Sakit. Aku beraniin cek up. Dokter bilang ginjal aku bermasalah karna berturan kesar kecelakaan. Awalnya belum gagal ginjal, tapi makin kesini makin parah. Dan sekarang aku harus cuci darah,"
"Zira tahunya aku punya anemia sama maag. Masalah pulang malem aku juga bukan nongkrong. Aku ke rumah sakit," jelas Rani dengan detail. Dia rela pulang malam agar bisa konsultasi mengenai penyakitnya. "Tapi sama sekali enggak ada perubahan."
"Papa kamu tahu?"
"Enggak ada yang tahu. Mereka cuma tahu aku kecelakaan."
"Dia harus tahu."
Rani menggeleng cemas. "Jangan. Kamu udah janji buat enggak kasih tahu."
Bagaimana ini?
--REDAM--
Hiks, aku mau nangis huwahhh.
Yang nunggu konflik sabar. Aku lagi cari feel yang benar-benar pas buat kalian. Sedih. Ah, bodo amat.
Ingat, aku update 2 hari sekali. Kalo telat aku bakal doble up.
Siiu next chapter.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Yours Last [END]
Teen FictionAWAS BAPER ⚠️ "Suka sama Om-Om? Bodoh amat. Orang gue yang suka," kata Rani kesal. Menyukai seseorang tidak ada salahnya, kan? Lagipula itu adalah hak seseorang. Terserah kalian mau bilang apa. Bagi Rani, laki-laki dewasalah yang pantas menjadi pen...