Setelah cuci darah selesai, Adam mendorong kursi roda Rani. Gadis itu tidak ingin berlama-lama dirumah sakit. Adam sengaja memundurkan jadwal meeting karena Rani lebih penting dari itu.
Rani merasa bersalah sudah membuat Adam khawatir, apalagi meninggalkan pekerjaan deminya.
"Adam," ucap Rani sembari mendongakkan kepalanya ke atas untuk melihat wajah lelaki itu.
"Kenapa?"
"Aku ngerasa bersalah. Gara-gara aku, kamu jadi mundurin meeting."
Tangan Adam mengacak lembut kepala Rani. "Itu urusan saya. Jangan dipikirin," jawabnya.
"Kamu enggak keberatan bantuin aku?"
"Saya lagi berusaha buat jadi suami yang baik," tutur Adam yang mampu membuat Rani terkesima.
"Emang seyakin itu sampai nikah?" Rani terkekeh pelan, berbeda dengan Adam yang mengubah ekspresinya menjadi datar.
"Yakin."
Adam berhenti mendorong kursi roda dan menarik tangan Rani untuk digenggamnya. Tanpa sadar mereka sudah menjadi objek ditengah keramaian.
"Saya akan beri satu ginjal saya untuk kamu."
Deg. Spontan Rani melepas tangannya dari Adam. Perkataan Adam membuat matanya berkaca-kaca. Tidak seharusnya Adam berkata seperti itu. Rani tidak ingin Adam mengalami hal yang sama dengannya. Lagi pula Rani tidak yakin jika donor ginjal itu berhasil. Sia-sia nantinya.
"Kamu gak harus ngelakuin itu," tolak Rani terang-terangan.
"Saya tidak ingin kamu sakit terus menerus."
Adam mendorong kembali kursi roda Rani. Berbeda dengan Rani yang mendiamkan dirinya. Rani tahu Adam lelaki yang baik, tapi tidak harus mendonorkan ginjal, bukan?
Adam membantu Rani untuk masuk ke dalam mobil. Setelah itu barulah ia masuk.
Di dalam mobil suasana seakan canggung. Bukan Adam, melainkan Rani yang merasakan.
Adam melirik Rani sesekali sembari menyetir. Wajah sendu Rani terlihat jelas saat ini.
"Kamu harus sembuh," ucap Adam sembari menatap mata gadisnya lekat.
Rani menoleh ke arah Adam, membalas tatapannya. "Aku juga gak mau kamu sakit," tangannya menggenggam tangan Adam. "Hidup satu ginjal itu gak mudah," lanjutnya.
"Saya kuat," Adam tersenyum. "Sama kaya kamu," lanjutnya.
Baper saja hari ini. Tidak menuntut untuk harus.
Adam memberhentikan mobilnya tepat di kedai buah. Rani mengeryit heran.
"Kamu tetap disini."
Adam keluar dari mobil dan menuju kedai tersebut. Walaupun terkenal cuek, tapi disaat sudah dekat dengan orang tersayang lebih keromantisnya. Itu yang membuat Rani tertarik pada Adam. Lelaki cuek, namun romantis.
Setelah beberapa menit Adam kembali memasuki mobil. Ditangannya ada kantung plastik yang berisi aneka buah.
"Buat kamu." Adam memberikan kantung buah tersebut pada Rani.
Rani tersenyum mendapati ada Alpukat di dalamnya.
"Adam, kamu tau banget aku lagi mau alpukat."
"Mau apalagi?" tanya Adam sembari fokus menyetir.
Rani mengeryit heran. "Aku?"
"Iya, kamu mau apalagi? Biar saya belikan."
"Gak usah nanti ngerepotin."
Adam mengusap kepala Rani dengan tangan kirinya. Merasa gemas dengan gadis itu. "Kemauan kamu tidak akan membuat uang saya habis."
Rani mendesis mendengarnya. "Kamu enggak boleh ngomong gitu," celotehnya.
"Kenapa?"
"Nanti kalo habis gimana? Udah cukup kamu bayarin pengobatan aku. Itu aja aku gak tau kapan balikinnya." Selama ini yang membayar segala pengobatan Rani sejak awal adalah Adam. Ia tidak ingin membenaninya lagi.
"Saya tidak minta kamu untuk mengembalikannya. Yang saya lakukan untuk kamu itu tulus."
Deg. Betapa baiknya human satu ini.
Rani menatap Adam secara lekat, mencari kekurangan, namun tidak ada. Benar-benar sempurna.
"Makasih. Aku enggak nyangka kamu seromantis ini. Padahal belum nikah," ucap Rani diiringi senyum yang mengembang.
Ya ampun, Rani menyadari apa yang dikatakannya barusan sangat tidak pantas. Bagaimana jika Adam marah?
"Adam maaf."
Adam terkekeh kecil. "Buat apa? Saya sudah tidak sabar untuk melihat kamu disetiap bangun tidur."
"ADAM!"
Betapa malunya Rani saat ini.
--REDAM--Hai, Bucinnestar ✨ Bantu share ya, votmen juga.
Follow ig @elsamhri__ untuk melihat visual ceritaku.
Siiuu next part 🙆
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Yours Last [END]
Teen FictionAWAS BAPER ⚠️ "Suka sama Om-Om? Bodoh amat. Orang gue yang suka," kata Rani kesal. Menyukai seseorang tidak ada salahnya, kan? Lagipula itu adalah hak seseorang. Terserah kalian mau bilang apa. Bagi Rani, laki-laki dewasalah yang pantas menjadi pen...