Hari semakin malam, keluarga Adam masih berada dirumah Rani. Pertunangan tadi membuat kedua keluarga semakin akrab. Apalagi orangtua Rani yang kini sudah berbaikan satu sama lain.
Adam menghampiri Rani yang sedang asik bergurau dengan keponakannya, Zira.
Kedatangan Adam sontak membuat Rani menghentikan aksi tertawanya.
"Kenapa?" tanya Rani.
"Saya ingin bicara sama kamu."
Rani pun pamit pada Zira. Dan menarik tangan Adam untuk mengajaknya sedikit menjauh.
"Mau ngomong apa?" Rani tidak henti-hentinya mengulas senyum. Membuat Adam jadi tidak kuat melihatnya.
"Jangan senyum," ujar Adam dengan wajah datar andalannya.
Rani melotot, kaget. "Kamu cuma mau ngomong itu? Gak penting banget."
"Bukan itu."
"Terus apa?"
"Saya sudah urus kebutuhan kamu untuk home schooling. Besok kamu jangan pergi sekolah."
"Tapikan aku mau sekolah. Lagian apa alasannya kalo aku tiba-tiba home schooling?" Rani berkacak pinggang. Tidak terima dengan Adam yang mengambil keputusan secara sepihak.
"Kemauan kamu sendiri."
Alasan apa itu? Tidak masuk akal.
"Adam, kamu cari alasan gak logis banget, heran." Dalam situasi ini Rani berusaha agar tidak berdebat. Lagipula keputusan Adam memang benar, itu untuk kebaikannya sendiri.
"Mau atau saya kasih tahu orang lain," ucapan Adam langsung terpotong karena ulah Rani yang tidak trima.
"Iya aku mau." Rani memutar bola matanya dengan perasaan jengah. "Kamu mainnya ngancem. Curang."
"Demi kesembuhan kamu." Tangan Adam mengacak rambut gadisnya. Sudut bibirnya tertarik untuk tersenyum.
"Jaga kesehatan. Saya pulang." Adam menarik Rani ke dalam pelukannya. Setelah bertunangan ia rasanya ingin cepat menikah dengan Rani.
"Iya, kamu hati-hati." Pelukan yang Adam beri sangat nyaman. Rani tidak ingin lepas darinya.
****
Rani menyenderkan tubuhnya di sofa. Kakinya berselonjor nyaman. Matanya terfokus pada guru privatnya, Bu Hesti. Namun ia kembali memikirkan kejadian sebelumnya.
Kedatangan Bu Hesti tadi pagi membuat Rani menggelengkan kepala. Ternyata Adam benar-benar menyuruh Rani untuk belajar dirumah.
Bu Hesti menyadari jika Rani tampak memikirkan sesuatu. "Rani," tegurnya.
Lamunan Rani terbuyar seketika. "Eh, iya bu, maaf Rani gak fokus," jawabnya.
"Iya, lain kali jangan gitu lagi."
Rani mengulas senyumnya. "Siap, Bu Hesti," ucap Rani sembari tangannya hormat.
Tidak lama kemudian kegiatan belajar pun selesai. Waktu belajar Rani memang terbilang singkat. Hal itu karena aturan Adam.
Setelah Bu Hesti pulang dari rumahnya. Rani kembali menduduki sofa sembari bermain ponsel. Terdapat pesan dari Zira yang menanyakan perihal ia tidak masuk sekolah. Tangan Rani memijit pelipisnya yang terasa nyeri.
"Bik, tolong ambilin Rani minum sama obat di kamar," teriak Rani secara pelan.
Rani beralih membalas pesan Zira.
Ziranjink:
Ra, lo kenapa gak masuk?Rani:
Mulai hari ini gue belajar dirumah. Home schooling.Ziranjink:
Serius?! Why, Ra?Rani:
Ya gue mau. Capek gue sekolah. Anemia gue makin jadi nanti.Ziranjink:
Anjir. Untung ada bu Dwi, kalo gak udah gue telpon lo. Greget gue.Rani terkekeh membaca balasan sahabatnya itu. Dalam kegiatan belajar pun Zira masih sempat bermain ponsel. Benar-benar.
"Non, ini obatnya." Bik Surti memberikanya pada Rani.
"Makasih, bik."
Setelah meminum obatnya, Rani kembali mengecek ponsel. Tidak ada kabar dari Adam. Ia pun berniat menghubungi lelaki itu. Lelaki yang sudah resmi menjadi tunangannya.
Panggilan tidak dijawab
Ada apa dengan Adam? Mungkin ia sedang sibuk.
Rani memutuskan untuk mengirim pesan padanya. Siapa tahu jika nanti Adam itu tidak sibuk, ia bisa membacanya.
Rani:
Kamu lagi dimana?Adam langsung membalasnya. Rani menghela nafas lega, ternyata Adam masih ingat dengannya.
Calon Imam:
Adam lagi jalan sama gue. Lo jangan ngarep bisa sama dia. Adam gak suka sama lo.Deg. Hancur sudah hati Rani.
--REDAM--
Jangan lupa share cerita ini. Untuk lihat perkembangan ceritaku, kalian bisa cek di IG @elsamhri__ itu akun ku.
Siiuu next chapter.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Yours Last [END]
Teen FictionAWAS BAPER ⚠️ "Suka sama Om-Om? Bodoh amat. Orang gue yang suka," kata Rani kesal. Menyukai seseorang tidak ada salahnya, kan? Lagipula itu adalah hak seseorang. Terserah kalian mau bilang apa. Bagi Rani, laki-laki dewasalah yang pantas menjadi pen...