MG; empatlima

1.9K 101 6
                                    

Rani terbangun dari tidurnya. Tanpa pikir panjang ia bergegas mandi. Semalam Adam menghubungi Rani agar besok pagi jangan telat bangun, karena Adam akan mengajak gadis itu kerumahnya, bertemu calon mertua.

Setelah merasa dirinya sudah rapi, Rani bergegas keluar. Style yang ia kenakan tampak sederhana, hanya saja jika Rani yang memakainya akan tampak elegan. Bisa malu jika tampilannya jelek di depan calon ibu mertua.

Rani menyipitkan matanya melihat Adam sudah duduk di sofa. Demi apa lelaki itu niat sekali datang sepagi ini.

"Adam," panggil Rani, lalu duduk disampingnya.

Adam menoleh dan meletakkan ponsel yang daritadi ia pegang untuk menghilangkan kekosongan saat menunggu gadisnya.

"Udah siap?" tanya Adam.

"Udah." Rani mengambil buah yang sudah dihidangkan di atas meja oleh bik Surti. "Kamu niat banget datang jam segini," lalu menggigit buah yang ia pegang.

"Jam berapa sekarang?" tanya Adam.

Rani melihat jam diponselnya. "Jam tujuh," jawabnya.

"Saya datang jam 6.55."

Rani memukul lengan Adam. "Kirain dari subuh," ketus Rani.

Adam mengusap kepala Rani gemas. "Makanya jangan suka ambil kesimpulan."

"Kan aku cuma nebak."

"Emang saya nyuruh kamu main tebak-tebakan?" ledek Adam.

Rani mendesis. "Nyebelin banget masih pagi juga."

Adam tersenyum menatap ekspresi kesal gadisnya.

"Berangkat sekarang, mama saya ingin kita sarapan dirumah."

Rani mengangguk. Ia menggandeng tangan Adam saat hendak keluar.

"Ra," panggil Adam saat sudah berada di dalam mobil.

Rani menoleh ke arah Adam yang kini sedang fokus menyetir. "Kenapa?" tanya Rani.

"Saya ingin kamu panggil saya sayang seperti kemarin."

Deg. Apapun itu tolong bantu Rani menghilang. Kata Sayang  yang di ucapkan Rani kemarin terjadi secara spontan. Adam benar-benar membuatnya berdebar saja.

"Rani," panggil Adam lagi.

"Aku malu Adam." Rani menjawab dengan cepat.

Adam terkekeh mendengarnya.

"Saya calon suami kamu."

"Tapi kemaren aku refleks ngomong gitu. Kalo disuruh gini bikin gugup."

"Jadi gak mau?" tanya Adam.

"Bukan gak mau, malu."

Adam menepikan mobilnya sejenak. Kemudian menoleh menatap Rani.

"Tutup mata kamu," ucap Adam.

Rani menutup matanya. "Udah."

"Bilang I Love You ke saya."

Sontak Rani membuka matanya lagi, kaget dengan yang Adam katakan.

"Gak mau juga?" tanya Adam. Kali ini ia geram dengan Rani. Sangat tidak peka.

"Mau."

Adam menarik sudut bibirnya. Tersenyum.

Rani menarik nafas, lalu membuangnya secara perlahan. Merasa sudah siap, ia menatap Adam dengan lekat.

"Adam I love you."

"Sama, saya juga."

****

"Makan yang banyak sayang, jangan jaim-jaim," ucap Halimah, ibu Adam, pada Rani.

Rani tertegun. "Iya tante, makasih."

"Jangan panggil tante, kamu sebentar lagi jadi menantu saya."

Perkataan mama Adam membuat Rani tersipu malu. Apalagi sekarang Adam menatapnya sambil tersenyum jahil. Bukannya membantu supaya tidak deg-degan, justru Adam membuatnya deg-degan.

Melihat paras Halimah yang cantik tidak meragukan lagi jika gen keluarga Adam sangat menguntungkan. Lihat saja cucunya, Zira, tidak kalah cantiknya dari Rani. Dan Adam, sungguh pria idaman kaum wanita.

Setelah sarapan selesai Shara berniat berdiri membantu membereskan, namun hal itu dicegah oleh Halimah, calon mertuanya.

"Rani, semuanya nanti ada yang beresin. Kamu ikut mama aja ke halaman belakang," ujar Halimah pada calon menantu.

"Adam, kamu jangan ikut," ujar Halimah pada anaknya. Adam hanya bisa berdehem.

Halimah mengajak Rani ke halaman belakang. Dimana udara sejuk pagi hari sangat dominan. Terlebih lagi banyak sekali pepohonan. Tak kaget lagi bagi Rani, melihat tanah yang entah berapa hektar luasnya itu memang pantas jika Adam yang punya. Suasana rumah sangat terjaga. Keadaan luar maupun dalam pun sangatlah rapi. Bagaimana tidak, rumah seluas ini memiliki 13 pembantu yang bekerja sesuai keahliannya.

Jika saja orang tua Rani tidak bercerai, ia ingin sekali merasakan keadaan rumah seperti ini. Penuh kasih sayang.

"Rani, sebelumnya mama mau tanya sama kamu," ujar Halimah.

"Apa Ma?"

"Kenapa kamu bisa mau sama Adam? Tunangan ini tidak ada paksaan kan?"

Sudah di duga. Rani sangat peka jika mama Adam akan bertanya hal itu. Pertunangan yang terbilang singkat itu membuat Rani dan Halimah belum sempat mengobrol banyak. Dan inilah momennya.

Rani menggeleng kepala. "Sama sekali gak ada paksaan, Ma."

Terlihat Halimah membuang napas lega karena jawaban Rani.

"Syukurlah. Mama takut banget kalo Adam maksa kamu buat tunangan. Padahal ia tahu kamu masih sekolah."

Halimah menuntun Rani untuk melihat-lihat kebun kecil miliknya. Kebun yang digarap bersama Adam libur. Ternyata kegiatan favorit Adam ialah menanam.

"Ma, kenapa Adam jarang pulang kerumah?" tanya Rani. Pertanyaan itu sempat berputar-putar dikepalanya beberapa hari.

Sembari menyiram tanaman tomat, Halimah menjawab, "Sejak SMA Adam sudah tinggal sendiri di Apartnya. Dia minta itu sama mendiang papanya. Katanya biar mandiri."

Rani merasa takjub mendengarnya. Adam orang yang tepat untuk dicintai.

"Tante!"

Teriakan itu membuat Rani dan Halimah menoleh dan melihat siapa orangnya. Ternyata dia, batin Halimah.

Bagaimana ia bisa masuk?

--REDAM--

Hai, Bucinnestar ✨

Jangan lupa Share ya!
Votmen juga! Baca ceritaku yang lain juga.

Siiuu next part.

I'm Yours Last [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang