Toha terus berderap dengan kepala merunduk. Meski pandangan mulai mengabur bercampur perasaan perih tersengat air mata yang merembas dari sesela pelupuk mata.Langkah Toha berhenti begitu Barga mencekal lengan dan memutar paksa badan duda manis itu menghadap ke belakang.
Selinang air mata di pipi Toha seakan mengiris ulu hati Barga. Menoreh perih di rongga dada.
"Kau ... kenapa, Toha?" tanya Barga sambil menangkup pipi Toha. Gelagak amarah mencuat kala lelaki itu melihat wajah sembab sang kekasih. Memetakan setiap gurat rasa sakit di sana.
Toha segera menepis kedua telapak tangan Barga yang bersarang di pipi. Kembali merunduk merasa malu atas kerapuhan diri di depan sosok lelaki itu.
Barga terus berjalan seiring langkah Toha dengan badan agak membungkuk berusaha mengintip muka guru seni lukis itu yang terus bersembunyi di balik tangkupan tapak tangan.
"Minggir, ah!" usir Toha sambil mendorong badan Barga menjauh. Namun, lelaki itu masih saja mengekor.
"Kenapa?" tanya Barga berulang kali membuat Toha hampir mengerang kesal.
Ya, tuhan ... bisakah Barga peka membaca situasi tanpa Toha harus berkata kasar?
"Berhenti membuntutiku, Brengsek!" bentak Toha habis kesabaran. Membanting pintu bilik kloset tepat di depan muka Barga saat lelaki itu hendak turut masuk.
Toha langsung mengempas diri duduk di tudung kloset duduk sambil mengusap muka gusar. Merasa bersalah karena sudah membentak Barga tanpa alasan.
Namun bukan sebentuk perhatian yang Toha butuhkan. Dia hanya ingin sepetak ruang privasi untuk menata hati. Sekeping hati yang seketika hancur begitu Barga tanpa sengaja menarik bagian pondasi paling rapuh.
Barga sama sekali tidak salah. Hanya Toha saja yang masih belum siap menghadapi kenyataan pahit dan lelaki itu selalu mengingatkannya pada setiap luka di masa lalu.
Toha mengumpat saat sadar bilik kloset itu kehabisan tisu toilet. Hebat, betapa beruntung sekali nasib hidupnya?
Segera Toha keluar sambil menggerutu dan tertegun kala mendapati Barga masih berdiri di luar pintu bilik kloset itu dengan tangan menyodorkan sekotak tisu.
"Ambillah."
Mengerjap cepat seakan menyakinkan diri kalau Barga bukan bagian dari delusi di siang bolong. "Trims," sahut Toha sambil menarik selembar tisu dari kotak itu.
"Simpan saja," tolak Barga saat melihat Toha hendak mengembalikan kotak tisu itu.
"Maaf, sudah membentakmu tadi," sesal Toha sambil merunduk.
"Mau temani aku keliling? Aku belum begitu mengenal peta ruangan gedung sekolah ini," sahut Barga sambil mengangguk pelan. "Antisipasi saja biar tidak kesasar."
"Ayo, kebetulan masih ada cukup waktu sebelum masuk jam mengajarku," balas Toha meski agak enggan. Namun lebih baik daripada terjebak di ruang guru dan menjalani sesi interogasi Bu Esti soal kecelakaan tabrakan bibir tadi.[]
