(23)

5.8K 325 10
                                    


Selepas makan malam bersama meski serba kekurangan namun cukup meriah dengan gelak tawa dalam selingan obrolan ringan. Melanggar etika tak tertulis dalam tradisi masyarakat yang melarang mengobrol selama kita sedang makan.

Barga berutang penjelasan akan alasan pembatalan kencan dengan Nisa dan Toha memutuskan tidak akan pulang membawa tanda tanya yang terus bergelayut di kepala.

Jadi, Toha mengajak Barga keluar dengan dalih mencari udara segar. Mereka berjalan bersisian menyusuri jalanan lengang, sepi dari kendaraan yang berlalu-lalang.

"Dari mana kau tahu soal kunjunganku hari ini?" tanya Toha lugas sambil mengedar mata ke sekitar. Cukup aman bagi mereka mengobrol soal privasi tanpa takut ada yang menguping.

Hanya ada segerombol anak muda duduk di bangku taman tepi jalan sambil memetik senar gitar dan bersenandung riang dengan nada sumbang. Berada jauh dari jarak dengar suara mereka.

Barga mengedik bahu tak acuh. "Intuisi, barangkali?"

"Mengaku saja, Barga." Toha mendengus separuh berang sambil menoleh dan mendongak menatap tajam ke mata hitam Barga. "Siapa dia?"

"Jangan marah, oke?" sahut Barga sambil mengangkat kedua tangan tanda menyerah. "Aku dengar kabar dari rekan kerja lamamu sekaligus mantan guruku. Dia hanya bilang apa aku sudah bertemu denganmu dan langsung tahu kalau kau ada di rumah bibiku. Mencariku."

Toha merasa bersalah dengan Bi Lasmi karena sempat berprasangka buruk. Menganggap wanita tua baik hati itu yang sudah melapor ke Barga. "Jadi, kau campakan Nisa begitu saja?"

"Kau ingin aku bilang apa? 'Sori, Nis. Aku harus pulang dan menemui selingkuhanku di rumah bibiku'?" tanya Barga sinis dengan kedikan bahu samar. Memberi kesan seakan tak peduli dengan perasaan sakit hati Nisa.

Keparat kuadrat! "Jangan jadikan aku sebagai alasan pembenaran dari sikap brengsekmu, Barga!" kecam Toha sambil menuding telunjuk ke dada bidang lelaki itu.

"Oh ... ayolah, Toha. Mau sampai kapan membohongi hatimu? Tidakkah kau lelah harus terus bersandiwara dengan semua omong kosong ini?"

Toha menggeleng lemas. "Aku perlu meluruskan sesuatu mengenai konsep cinta di antara kita. Aku sudah dengar soal kematian kedua orang tuamu dan aku pun tahu kau tidak butuh rasa simpati dariku atas kepergian mereka."

Barga terdiam, menunggu penuturan Toha lebih lanjut.

"Bi Lasmi merasa bersalah dengan mendiang ibumu karena sudah gagal mengemban tugas sebagai ibu asuhmu; tidak sanggup melimpahimu dengan segenap cinta dan kasih sayang seorang ibu."

Barga mendengus geli seakan baru mendengar lelucon paling konyol. "Aku tak seegois itu, Toha. Aku tahu Bibi punya anak lain yang lebih butuh perhatian daripada aku; sepupuku. Saudara angkatku."

Toha refleks mengangguk. "Aku turut senang mendengar pengakuanmu. Karena bagaimana pun, mereka tetap keluargamu."

"Yeah, meski dalam kepedulian palsu," sahut Barga sambil tergelak penuh ironi. "Aku tahu mereka tidak menginginkanku. Hidup mereka sudah susah tanpa mulut tambahan untuk mereka kasih makan."

"Omong kosong macam apa itu?"

"Bibi memang baik padaku, tapi tidak sebaik dirimu. Pernahkah dia menyabuni tubuhku setiap mandi pagi? Menyisir rambut gimbalku? Tidak sekali pun."

Toha mengigit bibir ketika sadar masalah itu bertambah rumit. "Dengarkan aku, oke? Lihat dirimu," pinta Toha sambil melangkah mundur. Menelengkan kepala ke kanan dan mengamati penampilan Barga dengan saksama. "Tinggi tegap, badan atletis, paras tampan dan berotak cemerlang."

"Tampan?" ulang Barga sambil mengangkat sebelah alis dengan gerakan sinis.

Toha memutar bola. "Uh, yeah. Hanya orang buta yang menganggapmu buruk rupa."

Barga berdeham. "Oke, lalu?"

"Kau punya sejuta potensi untuk hidup bahagia di dunia ini. Tidakkah kau berencana ingin menikah? Memiliki satu-dua bayi mungil dan lucu?" sambung Toha dengan nada riang dan mata menerawang jauh ke masa beberapa tahun ke depan. "Jangan hancurkan mimpimu demi cinta semu sepertiku."

"Hidup terasa kurang lengkap tanpa dirimu, Toha."

Toha mengembus napas gusar. "Kau salah menafsirkan kebaikanku, Barga. Aku hanya ... kasihan padamu."

Barga menggeleng pelan. "Bukan aku tapi kau, Toha. Aku tahu, selama ini kau hanya berusaha melarikan diri dari mimpi burukmu. Ketakutan yang tidak berani kau hadapi. Kau butuh diriku untuk mengobati rasa sakitmu."

"Simpan bualan gilamu, Barga. Kau tak tahu apapun tentang masa laluku," elak Toha dengan suara goyah hampir gemetar.

Barga segera mencekal lengan Toha ketika hendak beranjak pergi. "Butuh bukti apalagi agar kau percaya bahwa aku tulus mencintaimu, Toha."

Toha lekas menepis tangan genggaman Barga saat lelaki itu mengecup lembut buku jarinya. "Nisa sudah menungguku. Aku harus pulang sekarang."[]

MY BRIDEGROOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang