(40)

2.9K 178 3
                                    


Di trimester pertama, Dania masih bisa menjalani rutinitas seperti biasa. Hanya merasa mual dan pening ketika bangun di pagi hari; gejala awal kehamilan. Namun menginjak trimester kedua, gadis itu mulai kesulitan menyembunyikan perut yang semakin membukit.

"Kamu rada gemukan ya, Dania," sapa satu gadis dalam rombongan anak populer saat mengamati penampilan Dania begitu bergabung bersama mereka di meja kantin.

"Nggak tahu, nih. Belakangan napsu makanku tambah parah; selalu pengin mengemil terus," sahut Dania sambil mengedik bahu dan menaruh nampan menu makan siang ke meja. "Mulai besok janji deh, bakal mulai diet dan rutin lari pagi setiap hari."

"Mau gemuk atau langsing, kamu bakal tetap kelihatan cantik. Beda sama kita, angka timbangan naik dikit aja; langsung turun pamor," celetuk gadis yang lain begitu Dania duduk dan segera disambut gelak tawa semua gadis dalam rombongan itu. Termasuk Dania yang sudah kebal dengan sindiran berselimut pujian itu.

"Jeias beda. Kalian populer cuman modal tampang doang, sih," sahut Dania masih tertawa meski gadis yang lain sudah berhenti dan sadar sindiran itu tepat sasaran.

Sebulan sekali, Toha dan Imran bergiliran menemani Dania ke bidan untuk menjalani pemeriksaan kehamilan. Meski sudah berulang kali menolak, mereka tetap gigih menawarkan bantuan.

Di sisi lain, Toha merasa senang turut andil dalam fase kehamilan Dania. Selain bisa semakin dekat dengan Imran, mereka pun menjadi lebih sering menghabiskan waktu bersama; hampir sepanjang hari.

Jadi tidak heran, kalau Toha segera mengajukan diri sebagai calon suami ketika mereka berdebat soal masa depan sang hati yang semakin membesar dalam rahim Dania.

"Aku bisa merawat bayi ini sendiri," tolak Dania cepat sambil mengelus perut. "Jangan paksa aku lagi. Aku sudah mengabulkan harapan kalian untuk tidak mengugurkan bayi ini."

"Kau mungkin tidak butuh kami. Tapi bayi itu butuh seorang ayah, Dania," bujuk Toha sambil mengangkat sebelah tangan ketika Imran hendak protes dengan keputusan mendadak dan sepihak itu; tanpa mereka berunding dulu. "Kau mau bayi itu tumbuh besar sebagai ... anak haram?"

Dania tertegun begitu sadar akan kebenaran ucapan itu. "T-tapi ... aku tidak mau melibatkanmu dalam--"

"Toha benar, Dania. Kalian bisa menikah sementara," dukung Imran saat tahu alasan dibalik uluran tangan Toha. "Tunggu aku lulus sidang skripsi dan kita berdua akan hidup bersama; demi anak kita."

"Yeah, anak malang yang kau tanam paksa dalam rahimku," ralat Dania sinis sambil menepis tangan dari genggaman Imran ketika pria itu hendak mencium buku jemarinya dan segera menoleh menatap Toha. "Bagaimana dengan ... sidangmu, Toha? Skripsimu sudah rampung?"

"Yeah, sudah dari semester lalu," sahut Toha sambil mengedik bahu dan mengedar mata ke sekitar kamar berdinding biru muda itu. "Aku bisa mengajukan sidang senin besok."

"Oh, sialan. Aku sudah ketinggalan jauh," umpat Dania sambil menatap dengan sorot menuduh. "Kau curang; mencuri start duluan."

Toha tertawa melihat Dania merajuk dan alasan dia mengundur sidang semester lalu karena masih ingin terus berada di dekat Imran lebih lama. "Aku siap membantu, kok. Kapan pun kau butuh."

"Janji?" pinta Dania penuh harap sambil mengangsur kelingking.

"Kalau aku mampu," sambut Toha sambil mengait kelingking itu dan mengulum senyum puas saat melihat rahang Imran mengetat bersambung gemeretak geraham saling menggerus geram.

Mereka pun pamit pulang begitu Dania mengeluh lelah dan butuh istirahat. "Sudah ... minum obat?" tanya Imran cemas ketika melihat gadis itu memijit pelipis.

"Rutin tiga kali sehari sehabis makan sampai aku bosan," sahut Dania sambil memutar kenop dan mengedik dagu ke luar pintu kamar. "Bisa segera keluar?"

Imran menurut dan hendak kembali membuka mulut ketika Dania membanting pintu di depan muka pria itu. Mengedik bahu dan memimpin jalan menuju tangga yang mengarah ke lantai bawah.

"Sekali lagi kau lakukan itu; matamu akan lebam satu," ancam Imran sambil bergegas menuruni tangga tanpa menoleh ke Toha.

Kening Toha mengerut sebelum sadar maksud dari pria itu. "Oh ... tenang saja, Imran. Aku tidak akan merebut Dania darimu."

"Berani bersumpah?" tantang Imran sambil berbalik menatap Toha dengan sorot mengintimidasi.

Toha baru sadar kalau Imran tampak lebih menggoda ketika sedang marah dan selama ini dia jarang melihat pria itu meradang. Bahkan lebih sering tidak acuh dengan keadaan sekitar.

"Aku tulus ingin membantu, oke? Tidak ada udang dibalik batu," jelas Toha sambil mengacung telunjuk dan jari tengah sebagai simbol damai begitu mereka keluar dari rumah Dania.

"Kalian harus segera bercerai begitu aku lulus."

"Sepakat," balas Toha sambil menjabat tangan Imran, memasang helm dan segera duduk di belakang pria itu.

Selama berkendara pulang, Imran terus mencerocos tentang beragam aturan yang harus Toha patuhi selama membina rumah tangga bersama Dania. Namun tidak satu pun ucapan itu tersangkut di kepala.

Toha hanya mengangguk sebagai balasan ketika merebah ke punggung lebar dan kukuh, dengan pelan menyusur jemari melintasi sisi badan sebelum saling mengait di perut Imran. Memejam mata meresapi kehangatan dan aroma tubuh pria itu yang menguar begitu memabukkan.

Memang begitu bodoh mengubur diri dalam cinta yang tidak akan pernah bersambut; namun bukankah cinta tidak harus memiliki? Bagi Toha sudah cukup bahagia selama bisa selalu berada di sisi pria itu. Tanpa saling memiliki[]

MY BRIDEGROOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang