(25)

5.9K 316 12
                                    


Begitu mengantongi izin menelepon dari Bi Lasmi, Toha segera menghampiri pesawat telepon di atas meja kecil di sudut ruang tamu bersebelahan dengan vas bunga tulip imitasi.

Dengan cepat menekan sederet angka, lantas menaruh gagang telepon ke dekat telinga. Panggilan tersambung pada dering ketiga.

"Ada yang bisa saya bantu?" sapa Nisa setelah mengucap salam dengan suara serak seperti habis menangis selama berjam-jam.

Toha refleks memejam mata kala rasa nyeri mendadak merujam dada. "Ini ... Papa, Nis."

"Papa masih rapat?" tanya Nisa setelah jeda hening cukup lama.

"Begitu, deh. Sori, Papa nggak bisa pulang malam ini," sesal Toha sambil memilin kabel telepon. "Jangan lupa kunci semua jendela dan pasang gerendel pintu sebelum pergi tidur."

"Semua aman kok, Pa. Tenang saja," sahut Nisa sambil tergelak yang terdengar dipaksakan. "Mas Barga ada di sana nggak, Pa?"

Toha kontan duduk tegak dan lekas mengedar mata ke sekitar dengan sorot waspada. "N-nggak ada, Nis. Cuma guru senior yang hadir."

Rasa bersalah mendadak menimbun hati Toha saat menapaki untaian napas berat Nisa yang sarat duka mendalam.

"Kenapa, Nis? Kalian habis ... bertengkar?" selidik Toha hati-hati ketika Nisa hanya membisu di seberang sana.

"Heran aja sih, Pa. Kenapa Mas Barga nggak balas pesan maupun panggilan telepon Nisa," jelas Nisa dengan nada bingung sekaligus takut. "Nisa jadi cemas, Pa."

"Berhenti memikirkan pria yang sama sekali tidak peduli padamu, Nis. Hanya buang waktu saja, kau tahu?"

"Mas Barga pria baik kok, Pa!"

"Yeah ... pria baik hati yang pergi meninggalkan pacarnya begitu saja," sindir Toha sinis. "Papa jadi penasaran. Seperti apa gerangan sosok pria brengsek di matamu, Nis?"

"Jangan ungkit masalah ini lagi, oke?" pinta Nisa dengan nada kesal sekaligus lelah.

"Dengerin Papa, Nis. Lupakan pria itu," sahut Toha penuh penekanan. "Barga tidak pantas untukmu. Dia hanya ingin memanfaatkanmu untuk mende--"

Toha refleks menoleh ke gagang telepon di genggaman tangan dengan tampang tak percaya begitu terdengar bunyi 'tuts' dan sambungan mereka pun terputus.

Dengan kesal, Toha menaruh kembali gagang telepon ke tatakan dan mengusap muka dengan frustrasi. Ingin rasanya melemparkan apa saja yang berada dalam jangkauan tangan untuk melampiaskan emosi.

"Kau tak apa, Manis?"

Toha lekas mendongak dan melihat raut cemas Bi Lasmi. Kemudian menggeleng. "Aku ... baik saja, Bi. Bibi belum tidur?"

"Bentar lagi habis mendongeng di kamar cucuku," balas Bi Lasmi sambil menegok ke pintu di ruang tengah. "Kau mau tidur mana?"

"Bareng anak-anak aja," putus Toha tanpa pikir panjang.

"Kasur mereka penuh. Nggak ada cukup ruang untuk menampungmu."

"Aku bisa tiduran di lantai."

"Ya, tuhan ...  itu pasti bercanda. Kau bisa masuk angin, Manis."

"Ada selimut, kan?"

"Tidak, malam ini kau tidur di kamar Barga," putus Bi Lasmi final. "Jangan malu begitu. Kami sudah terbiasa dengan deritan ranjang tengah malam."

Toha membuka mulut hendak protes dengan asumsi keliru wanita tua itu. Tapi urung begitu melihat Barga muncul dari arah dapur mengenakan kaos putih polos dan celana boxer.

"Kenapa masih kumpul di sini? Sudah larut, kalian tidak pergi tidur?" tanya Barga heran. Menatap curiga kelakuan main bisik mereka penuh rahasia seakan sedang bersekutu untuk menjahilinya.

"Lihat, tuh. Barga sudah nggak sabar ngajak kamu bobo bareng di kamar," bisik Bi Lasmi sambil menyikut pelan rusuk Toha.

Toha megedik bahu malas ketika mendapati gerakan alis Barga. Menuntut penjelasan.

"Kalian sudah beli kondom?" tanya Bi Lasmi dengan suara seakan sedang bertanya soal prakiraan cuaca esok hari. "Belum, ya? Oke, tenang saja. Kebetulan Bibi masih ada satu di lemari."

Toha kontan memutar bola mata, sedang Barga tampak berusaha agar tidak terbahak. Bagian mana yang lucu dari kondom? Apa karena bentuknya seperti balon tiup? Sampai kapan pun Toha tak pernah tahu selera humor lelaki itu.

"Simpan saja, Bi. Mau berapa ronde pun," Barga menjeda sambil menatap perut rata Toha dengan sorot jenaka. "Toha nggak bakalan bunting."

Geram, Toha mengangkat kaki dan menginjak jempol kaki Barga dengan tumit. Meski tahu Barga hanya bercanda, tetap saja bikin kesal.

Barga mengerang sambil memijat jempol kaki. Hendak memaki namun urung begitu melihat sebersit luka mengakar dalam di bola mata bening Toha yang berselimut air mata.

Meski tampak sekilas, tapi Barga yakin dia salah lihat. Apa benar kelakarnya sudah kelewat batas?

"Apa kau tahu? Bercinta bisa mengurangi rasa stress," celetuk Bi Lasmi sambil menangkup pipi dan memaksa Toha menatap lurus ke arahnya. "Kau tampak kacau malam ini. Jelas sekali kau butuh seks untuk melupakan sejenak masalahmu, Manis."

Toha memilih mengangguk lebih karena sudah lelah berdebat, "Terimakasih untuk saranmu, Bi." Lantas melenggang masuk lebih dulu ke kamar Barga.

"Apa Bibi salah bicara?" tanya Bi Lasmi berpaling menatap Barga begitu pintu kamar menutup.

"Bibi sudah cukup membantu," sahut Barga sambil mengedik bahu. "Dan jangan pernah kita bahas lagi soal kondom, oke?"

"Yeah, kau benar. Jangan ada lagi omongan kondom atau..." Bi Lasmi mencondongkan badan ke depan dan berbisik, "...bunting."

Untuk kali pertama seumur hidup, Barga ingin rasanya memotong lidah. Andai saja dia bisa lebih menjaga mulut, semua mimpi indahnya mungkin tidak akan berakhir seburuk ini.[]

MY BRIDEGROOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang