(44)

2.5K 159 10
                                    


Pertengahan trimester ketiga kehamilan Dania, aplikasi lamaran kerja Toha via surel mendapat balasan setelah hampir tiga bulan menunggu kabar. Berikut tanggal pelakasanaan tes tertulis dan wawancara, bertepatan dengan hari sidang skripsi Imran.

"Pergilah. Aku tak apa sendirian di rumah," kata Dania sambil meratakan benang kusut di serat kain kemeja batik Toha dengan lempengan besi panas seterika. "Kesempatan nggak datang dua kali, Bapak Guru."

Toha mendesah, merasa tua mendengar panggilan itu. "Segera kasih kabar kalau ada masalah, oke?" sahut Toha menurut, mengambil kemeja dari uluran tangan Dania dan segera mengenakan kain batik itu menutupi kaus putih lengan pendek di bagian bawah. Setengah ukuran lebih kecil dari kaus Imran.

"Naik mobil?"

"Pesan Grab," sahut Toha sambil melirik layar ponsel. "Delapan menit lagi sampai depan rumah. Kau mau pergi belanja?"

"Dengan perut sebesar ini?"

Toha menggeleng. "Kau mau pesan apa? Bilang saja. Biar aku belikan sekalian pulang nanti."

Dania bergumam sambil mengelus perut. "Klepon."

Kening Toha kontan mengerut. "Kau ... mengidam?"

Dania tergelak, kemudian mengedik bahu. "Kangen aja; Sudah lama nggak makan."

Toha mendengus geli. "Nggak sama Imran?"

Dania tertegun begitu menangkap tuduhan terselubung dalam suara Toha. "Buang waktu saja memikirkan pria brengsek itu."

Toha mengedik bahu. "Kalian cukup dekat belakangan ini."

Senyum ganjil menggaris di bibir Dania. "Kau cemburu, Toha."

Toha mendesah, memilih mundur teratur daripada harus kembali menginjak luka.. Tentu saja Imran lebih memilih gadis itu. Tidak ada cukup banyak kelebihan yang pantas dibanggakan agar bisa bersaing dengan Dania. "Oke, kau benar. Ada lagi?"

Dania melangkah mendekat dan merunduk ke bibir Toha tanpa peringatan.

Toha refleks berjengit mundur dengan raut bingung bercampur kaget. "Nggak lucu, Dania. Berhenti bercanda, oke?"

"Kau butuh banyak latihan, Toha," saran Dania sambil mengendik kecewa. "Bagaimana bisa memuaskan Imran kalau ciuman saja masih belum benar?"

Toha lekas membuang muka sambil berdecak sebal. "Sudah mulai siang. Lebih baik aku berangkat sekarang," pamit Toha sambil bersalaman dengan Dania.

Badan Dania agak sedikit membungkuk saat mencium punggung tangan Toha. Kemudian beralih mengelus pipi dan berakhir mengacak gemas rambut pemuda itu.

"Hei, hentikan. Kau bikin rambutku berantakan," sungut Toha sambil menepis tangan Dania.

Dania tersenyum puas sambil menapak kaki mundur selangkah dan mengamati penampilan Toha. "Kau tampak lebih imut, Pak Toha."

Toha memutar bola mata dan segera menemui pengendara grab yang sudah menunggu di depan pagar besi rumah mereka.

Imran pasti meradang kalau tahu Toha memilih mengajar daripada berada di rumah menemani Dania. Pria itu bersikeras menjadi tulang punggung mereka.

Beruntung lalu-lintas hari itu lengang dan sengaja Toha memilih lokasi gedung sekolah cukup dekat dengan rumah. Jadi, dia bisa pulang saat jam makan siang.

Toha hendak menuju ruang administrasi saat mendengar seseorang memanggil dari belakang. Kemudian berbalik dengan mata menyipit berusaha mengenali sosok pria yang sedang berlari menghampiri.

Toha mengangguk. Masih ingat dengan codet di bagian bawah mata kiri dan perawakan gempal pria asing itu, tapi lupa bagian nama. Mereka pernah satu kelas saat mengikuti mata kuliah seni lukis era renaisans.

"Dania ... sehat?" tanya pria itu begitu tiba di depan Toha.

"Kalau sakit kenapa?" sahut Toha sinis sambil mengedik bahu. "Kau mau datang membesuk?"

Seringai bodoh di bibir pria itu menerbitkan sejuta firasat buruk dalam benak Toha. "Dia memang sudah sakit, Toha. Sejak dari dulu, kau tidak tahu?"

"Sori, aku harus pergi. Ada wawancara kerja sedang menungguku," pamit Toha sambil menepuk bahu pria itu dan berusaha melupakan bualan sinting itu.

Namun omongan pria itu terus bergelayut dalam pikiran Toha, bahkan saat menjalani tes tertulis dan wawancara kerap menjawab keliru; tidak relevan dengan pertanyaan.

"M-maaf ... pikiran saya sedang kacau hari ini," aku Toha menyesal ketika sesi wawancara berakhir. "B-bisakah kita ulangi lain hari?"

Lelaki penuh wibawa di seberang meja tersenyum ramah. "Nilai akademis Anda bagus sekali, Pak Toha. Tapi meninjau attitude Anda yang kurang...."

Telinga Toha kontan menuli, mengisolasi diri dalam ruang memori bersama kepingan puzzle berserak acak. Lantas menyusun puzzle dengan urutan mundur dari saat pertama bertemu Dania di perpustakaan kampus.

Tertegun begitu kepingan puzzle membentuk gambar dengan lubang kecil tersebar di beberapa titik yang dulu sempat luput dari perhatian, namun kini memampang jelas di depan mata; rangkaian titik yang menunjukan letak kebohongan Dania selama ini.

Di sisi lain, Dania sedang sibuk merajut di balkon saat mendengar pintu depan berdebam. "Toha?" panggil Dania beranjak dari kursi ayunan dan menuruni tangga ke lantai bawah.

"Bagaimana hasil wawancara? Kau diterima?" tanya Dania begitu menemukan Toha di kamar mandi sedang menggeledah lemari obat di atas wastafel. "Kau cari apa?"

Toha segera menaruh botol bening berisi butiran pil di wastafel. "Obat antifibrinolitik. Hemofilia dan kau, Dania," sahut Toha sambil menatap tajam ke Dania.

"Oke, semua itu benar," aku Dania sambii melenguh lelah dan bersandar ke kusen pintu kamar mandi.

"Kau pasti tahu dampak hemofilia bagi keselamatan janin dan nyawamu," dengus Toha tak percaya betapa dia buta soal cacat genetik yang mengancam hidup mereka. "Kau bukan wanita bodoh, Dania."

Dania mengedik bahu. "Aku sudah bosan hidup seperti boneka mungil rapuh di dalam lemari pajangan mamaku. Aku ingin bebas, Toha. Menikmati hidup tanpa merasa takut tergores sesuatu yang bisa menguras habis darahku."

"Jadi karena itu kau ingin membantuku mendekati Imran," simpul Toha begitu berhasil mengurai simpal benang kusut dalam kepala. "Karena umurmu tidak akan lama untuk bisa hidup bersama Imran."

"Kupikir aku bisa mengubur cintaku kalau kalian bisa bersatu. Tapi rencanaku gagal saat imran menembakku di lapangan alun-alun kota malam itu," sahut Dania sambil merunduk dan mengelus perut dengan usapan lembut. "Itu sebuah kesalahan, Toha. Itu semua tidak ada dalam rencanaku."

"Yeah, tapi Imran memilihmu; bukan aku," bantah Toha sambil mengatur napas. Dia butuh pikiran jernih tanpa teracuni emosi. "Dan selama ini pun kau mencintai pria itu, kan?"

"Oh, sialan," umpat Dania sambil mengusap kasar pelupuk mata. "Aku benci mengatakan ini, Toha. Tapi kau benar; aku tetap mencintai Imran bahkan ketika aku berusaha membencinya."

"Bagus," sahut Toha meski sudah bisa menebak, namun tetap saja hatinya merintih perih saat mendengar pengakuan jujur gadis itu. "Sekarang aku punya alasan untuk pergi dari kehidupan kalian."

"Tidak, Toha. Kau tidak boleh pergi dari rumah ini," tahan Dania sambil mencekal lengan Toha. "Tempatmu di sini; bersama mereka."

"Kau bukan tuhan, Dania. Berhentilah mengatur hidupku!" bentak Toha sambil menyentak lepas genggaman Dania sampai badan gadis itu membentur dinding toilet cukup keras.

"Toha," panggil Dania dengan nada lirih, nyaris tak terdengar sambil mendekap perut dengan erat.

Rintihan Dania memaku langkah Toha.

"Perutku ... Toha," sambung Dania dengan keringat dingin mulai mengucur di pelipis serta embusan napas mulai tersengal.

Mata Toha melebar begitu menoleh dan melihat aliran darah merambat turun melintasi sisi bagian dalam kedua betis gadis itu sebelum mengenang di ubin kamar mandi. "Ya tuhan, Dania. Air ketubanmu pecah."[]

MY BRIDEGROOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang