Hampir sejam Toha berbaring diam di sisi kanan ranjang dengan posisi badan menyamping menghadap tembok kamar. Konon ada mitos mengatakan kalau badan diam dalam jangka waktu lima belas menit, otomatis anggota tubuh kita akan beristirahat.Namun faktanya, mata Toha enggan terpejam. Malahan sekujur badan menjadi pegal dan kebas di satu sisi karena tidur menyamping. Apalagi dengan tambahan gemeresak dari bawah selimut Barga yang telentang di sisi seberang.
"Berhenti lakukan itu, oke?" sungut Toha sambil memutar badan ke arah Barga.
Barga seketika menjeda gerakan tangan kiri yang masih bersembunyi di balik selimut, sedang yang sebelah kanan menekuk ke belakang sebagai bantalan kepala. "Apa itu ... menganggumu?"
Toha merenung sejenak sebelum menjawab, "Uh, yeah. Sangat berisik. Lagipula, tanganmu sedang apa di bawah sana?"
Sontak Barga tertegun. Benarkah Toha sepolos itu?
Toha menunggu penjelasan Barga dengan raut penasaran sambil sesekali melirik ke gundukan selimut yang masih membungkus selangkangan lelaki itu.
"Uhmm," gumam Barga berusaha mencari padanan kata yang terdengar lebih sopan dan tidak begitu kasar. Lantas kaget begitu sadar betapa melimpah tabungan kosakata berkonotasi mesum dan kotor yang tersimpan di memori otak. "Mengasah pedang? Yeah kau tahu, semacam itu."
Toha mendengus tak percaya. "Astaga, hanya lelaki tolol dan kesepian yang mengasah pedang setiap malam!"
"Sudah menjadi ritual wajib sebelum tidur," sahut Barga sambil mengedik bahu. "Kandungan hormon membantu melemaskan otot dan menenangkan saraf pikiran. Cara alami mengatasi insomnia tanpa ramuan obat herbal."
"Tapi ada pula bahaya efek samping kalau keseringan mengasah pedang," Toha menjeda sambil mengetuk dagu mencoba mengingat sesuatu. "Semacam ejakulasi dini, mungkin?"
"Lalu, bagaimana denganmu kalau semisal terangsang saat sedang sendirian?" tanya Barga sambil mengubah posisi badan miring ke samping serta menekuk sebelah lengan untuk menopang kepala.
Toha segera mengambil pose menelentang di kasur dan mengamati plafon kamar Barga yang lebih seperti galeri foto sensual sesosok asing yang selama ini bersembunyi dalam tubuh Toha. Benarkah itu dirinya?
"Baca novel erotis," ucap Toha sambil melirik Barga dan merasa lega saat mendapati lelaki itu diam saja tanpa ada gelak tawa maupun senyuman sinis.
"Kau tahu, ada sesuatu yang lebih atraktif dari sekadar baca novel erotis."
Badan Toha kembali menyamping menghadap Barga sambil menekuk lengan sebagai bantalan pipi dengan kening mengerut samar. "Apa itu?"
"Video bokep," jawab Barga hati-hati sambil mengamati reaksi Toha. "Ada cukup banyak koleksi di hardisk laptop. Tinggal pilih, atau kau lebih suka kalau kita main praktik langsung?"
Ada sekelebat rasa takut dalam mata Toha serta kedutan samar urat di rahang yang mengatup rapat.
Persetan dengan penolakan Toha. Sudah sekian lama Barga menahan diri, dan malam ini gairahnya sudah tak terbendung lagi.
"Kita mutualan saja. Saling memuaskan," bujuk Barga sambil merebahkan kepala ke bantal agar bisa sejajar dengan mata Toha. "Kita bisa berhenti kalau kau merasa sudah tidak kuat lagi."
"Aku ... hanya takut melakukan kesalahan. Maksudku, ini kali pertama aku bercinta dengan...," Toha menjeda dan mengambil napas panjang. "cowok. Aku benci kelihatan dungu dan kikuk. Kau pasti akan menertawakanku dan menjadikan diriku sebagai bahan guyonan teman-teman brengsekmu!"
Astaga, dari mana Toha dapat pikiran buruk semacam itu? "Tidak ada yang akan menertawakanmu maupun lelucon apa pun tentangmu, percaya padaku."
Toha mengatur napas yang mulai tak beraturan dan mengangguk pelan. "Kita mau mulai dari mana?"
Barga tersenyum senang mendapat sambutan hangat dari Toha. Berganti posisi merangkak di atas tubuh Toha yang segera telentang dalam dekapan lengan kekar Barga.
"Kita bisa mulai dengan melucuti pakaian dulu," saran Barga dengan cekatan melepas deretan kancing kemeja serta sabuk dan kait celana levis Toha, sedangkan Toha masih sibuk berkutat dengan kaos putih polos seakan merekat kuat di badan Barga.
Toha mengira melucuti pakaian kala hendak bercinta tidak semudah seperti apa yang dia bayangkan saat sedang membaca satu adegan dalam novel erotis di mana sepasang kekasih yang terbakar gairah.
Bagaimana pakaian mereka begitu mulus meluncur turun dari badan dalam hitungan kurang dari sepuluh menit, bahkan sambil berciuman panas. Sementara Toha?
"Aku tak bisa," rengek Toha putus asa, dengan tangan menggulung kaos Barga baru sampai sebatas dada. "Aku belum siap. Aku butuh waktu. Aku tahu, ini terlalu cepat bagiku!"
"Hai, Baby. Tenangkan dirimu," bisik Barga sambil menepuk pelan pipi yang terus menggeleng tak terkendali serta mencengkeram bahu Toha yang mulai dilanda serangan panik dengan tangan satunya. "Tak apa, oke? Aku bisa melepas kaos sialan ini sendiri."
Toha mengangguk sambil mengatur napas yang mulai tersengal. Mengamati Barga menarik kerah kaos melewati kepala berikut kedua lengan dan melempar kaos itu ke sembarang arah.
"Lihat? Masalah beres," sambung Barga kembali merengkuh tubuh Toha yang kini tanpa sehelai benang pun memisahkan kulit mereka.
"Sudah berapa kali melakukan ini?" tanya Toha penasaran sambil merangkul leher Barga. "Kau tampak begitu mahir. Jelas bukan pemain amatir."
Sapuan bibir Barga berhenti mengembara di ceruk leher dan bahu ramping Toha. "Ratusan kali denganmu, dalam pikiranku," aku Barga sambil mendongak dan menatap lurus ke mata Toha.
"Kalau dengan ... Nisa?" korek Toha sambil melarikan jemari ke rambut cepak Barga. Bertanya-tanya apa ini rambut gimbal yang dulu pernah disisirnya. Rasanya sudah begitu lama berlalu, namun kenangan itu masih terasa segar dalam ingatan.
"Belum dan nggak akan pernah. Paling intim kami cuma gandengan tangan saat hendak menyeberang jalan. Itu pun jarang."
"Kau ... mencintainya?"
"Kau cemburu?"
Toha memutar bola mata. Bosan dengan upaya pengalihan Barga, "Jawab saja."
Tanpa peringatan, Barga merunduk dan mencium bibir Toha sekilas. "Aku tidak masalah menikah dengan Nisa kalau memang itu maumu. Tapi sebagai imbalan, kau harus bersedia bercinta denganku kapan pun aku merindukan kehangatan tubuhmu."
Toha merengut melihat seringaian licik Barga. "Menang banyak kau, Barga. Aku nggak mau dimadu, apalagi dengan putriku."[]