Toha tertegun begitu tiba di pekarangan depan rumah Bi Lasmi dan mendapati ban motornya kempes, lagi?"Motormu kenapa?" tanya Barga dari balik bahu Toha yang masih bergeming bingung sambil menatap nasib malang yang menimpa roda depan motor metic itu.
"Dua kali dalam sepekan. Tidakkah aneh menurutmu?" Toha balik bertanya kala mengendus kejanggalan dari insiden ban bocor itu akibat tusukan paku karatan.
"Sekadar kebetulan, mungkin?" sahut Barga sambil mengedik bahu. "Banyak peristiwa ganjil terjadi hampir setiap hari kalau kau tekun mengamati sekitar."
Toha mendengus geli. "Kebetulan tidak bekerja dua kali, Barga. Kalau terus berulang, itu karena faktor kesengajaan."
"Kau menuduhku?"
"Berikan paku karatan sialan itu padaku," pinta Toha dengan nada mengancam sambil menadahkan tangan.
"Kenapa tidak kau geledah saja badanku? Kau pasti bakal kaget saat menemukan kejutan di balik celana dalamku," tantang Barga dengan satu kedipan nakal dan merentang kedua tangan di sisi badan. Memberi akses bagi tangan Toha agar leluasa meraba.
Toha bimbang. Apa ini semacam jebakan senjata makan tuan?
Seperti tebakan Barga, Toha memilih mengabaikan undangan terselubung itu. "Sudah jelas sekarang kalau tuduhanmu tidak berdasar. Kau hanya mengada-ada."
Toha segera merogoh saku dan menggerutu pelan saat melihat daya baterai sudah sekarat dengan turus sinyal timbul-tenggelam di pojok kanan atas layar ponsel.
Sebelah alis tebal Barga kontan terangkat saat melihat gelagat gusar Toha. "Ada apa?"
Toha lekas mendongak dan menatap Barga dengan tampang seperti bocah tersesat. Tampak kebingungan dan putus asa mencari jalan pulang. "B-boleh pinjam ... ponsel? Punyaku lowbat serta sinyal selular sedang buruk."
"Tunggu sebentar," timpal Barga segera merogoh saku celana depan gerakan kilat serta memasang raut muram begitu gagal menemukan ponsel di dalam sana. "Oh ... aku lupa bawa. Ketinggalan di atas meja nakas, mungkin. Mau coba periksa ke dalam?"
Tentu saja Barga hanya membual. Toha bisa dengan jelas melihat siluet bentuk benda persegi panjang tercetak di kerutan saku celana sebelah kanan lelaki itu. Ditinjau dari gradasi warna bibir, Toha tahu pasti kalau Barga bukan pecandu nikotin kelas akut.
Yeah, meski kadang Toha memergoki lelaki itu merokok dalam acara komunitas bakti sosial tertentu. Namun bukan lantaran sebab ketergantungan, melainkan sebagai upaya beradaptasi dengan gaya hidup glamor para donatur yang hadir di pesta penggalangan dana tersebut.
"Ke ... kamarmu?" tanya Toha lebih spesifik mengenai lokasi pencarian mereka.
Barga mengangguk cepat seakan takut Toha akan segera berubah pikiran. "Nggak jadi pinjam?" Ada sekelumit nada kecewa dalam suara Barga kala mendapati Toha urung beranjak dari undakan anak tangga paling bawah di beranda depan rumah Bi Lasmi.
Toha bukan bocah idiot yang tidak bisa membaca rencana licik Barga. Pasti lebih sulit pamit ke Bi Lasmi, bahkan bisa jadi dia akan melarang Toha pulang ke rumah. Bukankah begitu tujuan Barga mengajak Toha masuk ke rumah? Agar mereka bertemu Bi Lasmi dan membujuknya untuk tetap tinggal?
"Aku pilih ke bengkel saja. Ada nggak yang dekatan sini?" tanya Toha sambil mengedar mata ke sekitar dan bergidik kala sadar lampu jalan di depan rumah Bi Lasmi sudah padam.
"Ada satu di ujung jalan sana," tunjuk Barga dengan lengan terentang lurus ke arah kanan. Refleks, Toha berjalan mendekat dan memandang jauh mengikuti arah telunjuk Barga. Ke arah bintik cahaya redup yang lebih mirip kunang-kunang daripada pijar lampu neon.
Barga beruntung, Toha tidak begitu mengenal kawasan itu sehingga Barga bisa asal tunjuk dan mengarang mitos sesuai kebutuhan tanpa takut ketahuan.
"Apa masih buka?"
Barga mengedik bahu. "Nggak takut pergi ke sana sendirian?"
Kening Toha kontan mengerut. "Takut kenapa?"
"Kehilangan organ dalammu," bisik Barga sambil mengatur intonasi agar terdengar lebih dramatis.
Toha berjengkit mundur dengan hidung mengernyit ketika sadar jarak mereka tak lebih dari separuh hasta. "Kenapa tidak ada beritanya di koran maupun siaran radio dan televisi?"
"Terserah kau mau percaya atau tidak," balas Barga sambil mengedik bahu pelan. "Jangan merengek padaku bila besok warga sekitar sini menemukan mayatmu dalam kondisi perut terbelah dan meminta bantuanku untuk mencari organ dalammu."
Barga segera berbalik dan mulai melangkah menuju pintu sambil menghitung mundur dalam hati.
"Barga!" panggil Toha pada hitungan ketiga. Kontan memaku kaki Barga diam di tempat.
Barga lekas memutar badan menghadap Toha. Sekuat tenaga mengulum senyum di sudut bibir.
"Umm ... boleh aku menginap?" pinta Toha sambil menjilat bibir yang mendadak kering. "Aku bisa tidur di mana saja. Di lantai pun nggak masalah."
"Tentu saja, Toha. Kau bebas tidur di mana pun kau mau. Di kamar keponakanku atau kau lebih merasa aman kalau tidur seranjang denganku. Aku akan menjagamu."
Toha mendesah pasrah. Dia merasa seperti baru keluar dari mulut buaya dan kini masuk ke kandang singa. "Apa tidak ada pilihan kamar ketiga?"[]