Pesta pernikahan Toha dan Dania sangat meriah meski semua serba mendadak. Mengadakan resepsi di gedung mewah dengan tamu undangan sebagian besar berasal dari kalangan menengah ke atas."Kenapa kamu memilih pria udik seperti dia, Dania?" sembur Bu Darla saat Toha datang meminang malam itu, sepekan setelah mengikuti sidang skripsi.
Dania mengembus napas berat, mencoba tetap mengunci mulut; mereka sudah sepakat tidak akan ada bahasan soal kehamilan.. Namun dia sudah lelah terus berpangku tangan.
"Karena cinta nggak bisa ditukar dengan harta, Ma." Dania tak percaya sudah mengatakan omong kosong paling idiot sedunia sebagai senjata menentang ibunya..
Bu Darla mendengus sinis. "Cinta pun bukan jaminan hidupmu akan bahagia.. Dia hanya lulusan sarjana pendidikan, Dania. Mau kasih makan apa anakmu nanti? Batu?"
Dania hendak membantah, namun urung saat mendapati remasan lembut genggaman Toha di tangan dan melihat gelengan samar ketika menoleh menatap pemuda itu serta sebaris senyum dan sorot mata teduh seakan mengatakan semua akan baik saja.
"Kamu cantik, Dania Putri Mama Tersayang. Kamu bisa memiliki suami sepuluh kali lebih baik dan tampan daripada pria udik itu," sambung Bu Darla terus berusaha membujuk Dania agar membatalkan niatnya. "Demi tuhan, Dania. Kamu butuh kacamata?"
Dania memutar bola mata, lantas mengedik bahu. "Keputusan Dania sudah buiat, Ma."
Bu Darla menggeram, kemudian beralih menatap sang suami. Tampak santai duduk bersandar sambil merentang sebelah lengan ke susuran punggung sofa; meminta dukungan.
"Katakan sesuatu, Pa. Jangan diam saja."
Pak Harso segera menekuk lengan menopang kepala dan menatap lekat muka gusar istrinya. "Dania sudah besar, Ma. Bukan putri kecil kita lagi.. Biarkan dia memilih jalan hidupnya sendiri."
"T-tapi kan, Pa," rengek Bu Darla sambil memasang tampang mengiba. "Mama bakal malu sama temen arisan Mama kalau punya menantu ... udik."
Pak Harso mengedik bahu tak ambil pusing dengan pandangan buruk orang sekitar. "Emang siapa sih yang mau menikah? Mama atau Dania?"
"Ih, Papa!" sungut Bu Darla sambil mencubit lengan suaminya. Namun bukan mengaduh, lelaki itu malah tertawa. "Kalau Mama selingkuh, baru tahu rasa nanti!"
"Nggak bakalan," sahut Pak Harso yakin dan senang melihat istrinya merajuk. "Karena cuma ada Papa dihati Mama."
"Mimpi," balas Bu Darla sambil membuang muka dengan pipi merona dan melipat tangan ke depan dada.
Toha mengembus napas lega saat sadar suasana mulai mencair. Tidak setegang tali busur siap melontarkan anak panah membidik tepat ke ulu hati.
Pak Harso kini beralih menatap Toha yang duduk di seberang meja sofa ruang tamu. Mencondongkan badan ke depan sambil mengait jemari dan menumpukan siku ke paha. "Siapa namamu?"
"To--" Toha berdeham begitu sadar suaranya serak dan segera duduk menegak di hadapan lelaki itu. Tidak ingin memberi kesan sebagai pemuda pengecut. "Toha, Om."
"Toha," ulang Pak Harso seakan sedang mencoba menghafal nama itu. "Oke, Toha. Aku tidak berharap banyak darimu. Hanya satu pintaku; bahagiakan putri dan cucuku. Kau ... sanggup?"
Toha mengangguk mantap. "Percayakan padaku."
Pak Harso tersenyum puas dan mengacak rambut Toha seperti perlakuan seorang ayah yang bangga pada putranya. "Aku titip putriku, Toha."
"Akan kujaga Dania sebaik mungkin."
Pak Harso mengangguk, beranjak bangkit darl sofa sambil merangkul bahu Bu Darla mengajak wanita itu ke kamar. "Sudah larut. Ayo ... tidur, Ma."
Meski masih merengut sebal, namun tetap menurut. "Nggak bakal ada jatah malam ini," sungut Bu Darla sambil menepis rangkulan suaminya dan segera berderap meninggalkan lelaki malang itu.
"S-sudah? Begini saja?" tanya Toha sambil melirik Dania sedang memutar bola mata seakan bosan dan malu melihat tingkah kekanakan kedua orang tuanya. "Anti-klimaks sekali," gurau Toha meski ada nada kelegaan di sana.
"Kau ingin apa, Toha?" balas Dania sambil mencebik seakan kecewa dengan selera rendah humor Toha. "Kita bukan sedang syuting film sinetron penuh drama."
Kini mereka berdiri sambil memasang senyum paling bahagia saat barisan tamu undangan mengantre untuk memberikan kado dan ucapan selamat kepada mereka.
"Kau cantik sekali, Dania," puji Imran saat tiba giliran di depan pasangan pengantin baru itu sambil mengulurkan kotak berpita merah muda. "Spesial untukmu."
Dania memutar bola mata, segera merenggut kasar kotak itu dari tangan Imran dan menumpuknya bersama kado lain di kursi pelaminan di belakang mereka. "Sudah?"
Imran bergumam berusaha mengutarakan satu dari sekian juta harapan yang berkecamuk di kepala. "Kuharap, aku yang bersanding denganmu sekarang. Tapi aku masih bisa bersabar, Dania. Meski kau menikah dengan Toha; kau akan tetap menjadi milikku," bisik Imran mesra di telinga gadis itu.
Mata Dania melebar dan segera mendorong dada Imran menjauh. "Brengsek, bisa pergi sekarang? Kau menghambat antrean, kasihan yang masih menunggu di belakang."
Imran mengedik bahu dan beranjak turun dari panggung pelaminan.
Menjelang tengah malam, tamu undangan mulai berebut pamit pulang. Namun berbeda dengan Imran yang masih ingin tetap tinggal, kalau bisa menginap di sana semalaman. Namun kamar hotel sudah terisi penuh oleh kolega bisnis Pak Harso maupun kerabat jauh dari kedua keluarga pasangan pengantin baru itu.
Begitu melihat Toha sendirian, Imran segera menghampiri sambil mengenggam segelas sampanye di satu tangan. "Kau masih ingat dengan kesepakatan kita?" tanya Imran begitu tiba di belakang Toha.
Toha tersentak kaget dan lekas berbalik kala merasakan embusan napas merayap hangat ke tengkuk serta suara berat dan serak itu seketlka melumpuhkan anggota gerak. Memaku bisu mengagumi pesona lelaki itu. Oh, sialan ... kedua kaki Toha gemetaran.
"Jangan ada kontak fisik dengan Dania," sambung lelaki itu mengingatkan. "Toha?"
Toha mengerjap cepat begitu tangan Imran mengibas di depan mata. "Demi tuhan, Imran ... Dania masih hamil. Kau mau dia keguguran?"
Napas Toha tercekat saat kepala Imran mendekat. Cukup dekat sampai terendus aroma mint bercampur dengan bau alkohol dan sejumput tembakau kering merebak dari bibir lelaki itu yang seakan mengundang lebah merapat untuk mengisap dan melumat. "Tepati janjimu."
Toha segera mengais udara begitu bibir Imran menjauh. Baru sadar kalau sudah menahan napas cukup lama. "Y-yeah ... a-aku tak akan sentuh apa pun, oke?"
"Jadilah anak baik dan kau akan berumur panjang," sahut Imran sambil mengacak rambut Toha dengan satu tangan yang bebas. Meneguk habis sampanye dan menaruh gelas kosong itu ke baki penuh gelas dan piring kotor sebelum keluar dari gedung resepsi itu.
"Kau baik saja, Toha?"
Toha segera memutar badan dari arah pintu ganda berukir itu dan mendapati Dania sudah berdiri berang di depannya. "D-dania? S-sejak kapan kau berdiri di ... belakangku?"
"Bilang padaku kalau dia berani mencelakaimu," geram Dania masih menatap pintu ganda itu dari balik bahu Toha, lantas mengenggam dan mengandeng tangan pemuda itu melintasi atrium. "Ayo, ke kamar. Kakiku sudah pegal berdiri dari tadi."[]
