Toha berhenti dan menoleh saat mendengar seseorang memanggilnya. Siapa lagi kalau bukan Barga.“Butuh bantuan?” tanya Barga begitu tiba dan melihat Toha kerepotan membawa setumpuk buku gambar.
“Aku bisa sendiri, kok. Terimakasih,” tolak Toha sopan. Meski kedua tangannya cukup kebas memeluk tumpukan buku gambar itu.
“Berikan saja sebagian padaku,” paksa Barga sambil memindahkan setengah tumpukan itu ke tangannya. “Mau taruh di mana?”
“Bagaimana dengan muridmu?” tanya Toha saat sadar ada sekelompok siswi di tepi lapangan sedang mengamati mereka sambil saling berbisik. Beberapa yang lain sibuk melambungkan bola voli ke udara. “Kau tinggal begitu saja?”
“Nggak apa ditinggal bentar. Lagian, aku sudah suruh mereka latihan passing atas dulu sebelum penilaian,” sahut Barga tak ambil pusing.
Toha cukup risih ketika melihat penampilan kasual Barga. Satu keuntungan bagi guru olahraga, mereka tidak terikat aturan seragam dinas saat sedang mengajar di luar kelas.
Sosok Barga dalam balutan kaus oblong dan celana training serta peluit bertali yang mengalung di leher menambah kesan gagah dan jantan.
Toha menahan napas dan segera melengos dengan pipi merona kala mata tanpa sengaja menangkap gerakan di selangkangan Barga.
Oh, tuhan. Toha pasti sudah salah lihat.
“Toha?” panggil Barga sambil menaruh punggung tangan di dahi Toha. “Kamu demam? Mukamu memerah.”
Toha segera menepis tangan Barga. “Aku sehat, kok. Dan ... yeah, kau bisa taruh di mejaku. Maaf sudah merepotkan.”
“Beres, kau tenang saja.”
Mereka pun melangkah beriringan menuju ruang guru. Toha tertegun kala mendadak Barga menyodorkan sekuntum bunga pandorea.
"Kau tidak berubah, Barga. Masih sama seperti lima belas tahun lalu," cetus Toha sambil menggeleng.
"Pun dirimu yang selalu menolak bungaku. Tidakkah kau tahu, penolakanmu berdampak buruk bagi kesehatan mentalku?"
"Bukan kau saja. Aku pun sama," tukas Toha agak ketus. "Asal kau tahu, dulu kepsek sempat menegur keras diriku karena aksi pemetikan liarmu sampai bikin semua bunga di pot tanaman hias sekolah gundul."
"Semua akan menjadi kenangan indah kalau saja kau terima bunga pertamaku, Toha."
"Tahu apa kau soal cinta?" tanya Toha dengan nada sinis. "Kencing belum lurus sudah kepengin kawin aja."
Barga mendengus. "Jadi sekarang kau bersedia? Kencingku sudah lurus, kok. Bahkan bisa tegak lurus kalau sedang memikirkanmu."
Toha memutar bola mata bosan. "Oh ... lupakan saja."
"Butuh bukti? Aku bisa tunjukkan sekarang kalau kau mau," goda Barga sambil tersenyum puas melihat reaksi kaget Toha.
Toha mengumpat tanpa sadar ketika melihat sebentuk tenda di selangkangan Barga.
Oh, Brengsek! Lelaki itu benaran ereksi.[]