Butuh sekian detik bagi mata Toha untuk bisa fokus dengan suasana kamar temaram penuh rekatan foto di setiap sisi tembok. Sebelum sadar di mana dia berada; di ranjang berantakan kamar Barga. Sebagai saksi bisu atas pergumulan panas mereka. Berapa lama mereka bercinta semalam?Peristiwa semalam terasa tidak nyata. Tampak seperti gambaran buram dari pancaran cahaya proyektor yang memutar gulungan film di mata Toha. Dia merasa ada di dua tempat sekaligus. Sebagai aktor di dalam tayangan sekaligus penonton di balik layar film buram itu.
Toha merasa seperti terperangkap dalam salah satu foto yang merekat di tembok kamar Barga. Menatap bisu dari balik foto buram sepasang kulit basah bersimbah keringat saling menindih dan melumat. Ke sosok asing yang sudah mengambil alih dan mengendalikan tubuh Toha di bawah impitan badan kekar seorang pria.
Pening menghantam kepala kala sadar bahwa pria itu bukan Barga, melainkan sosok dari masa lalu yang dulu menorehkan luka di hati Toha. Melekat erat dalam ingatan semakin Toha berusaha melupakan.
Toha segera beranjak turun begitu rasa pening mereda. Memungut kemeja dan celana levis yang berserakan di lantai kamar, melilitkan handuk ke pinggang kemudian bergegas menuju kamar mandi.
Toha berusaha menolak fakta bahwa dia sudah bercinta dengan Barga. Namun sengatan rasa nyeri di seputar bibir anus setiap kali melangkah serta kombinasi bau sperma dan keringat menjadi bukti tak terbantahkan bahwa kejadian semalam bukan sekadar mimpi buruk semalam.
"Di mana Barga, Bi?" tanya Toha begitu keluar dari kamar mandi dan bertemu Bi Lasmi di dapur. Berharap lelaki itu tidak pulang sejak dari semalam.
Bi Lasmi tersenyum semringah. "Ada di pekarangan depan, tuh. Sedang menambal ban motormu, Manis."
Toha mengangguk lantas bergegas ke beranda setelah menaruh handuk ke kamar Barga. Mendapati lelaki itu sedang memasang kembali bagian dalam ban ke roda depan motor Toha setelah menambal bagian yang bocor.
"Bagaimana tidurmu semalam?" sapa Toha canggung sambil menuruni undakan anak tangga beranda. Cuaca cukup cerah dan hangat pagi itu. Matahari mulai merangkak naik di ufuk timur.
Barga segera berdiri tegak setelah berhasil memasang ban dalam dan memompa roda motor. "Kau ... puas semalam?" tanya Barga mengungkit topik yang berusaha Toha buang sejauh mungkin.
Toha membuang muka dari dada bidang telanjang Barga. Berusaha mengenyahkan sensasi hangat dan nyaman saat kepala merebahkan ke sana dengan irama detak jantung yang terdengar seperti musik pengantar tidur. "Uhmm ... yeah, kupikir begitu. Kau?"
"Kau yakin merasa puas dengan kehebatan pedangku atau sosok pria lain yang menawan pikiranmu?" dengus Barga sinis mengulang pertanyaan lebih spesifik.
Toha sontak menoleh kembali ke arah Barga dengan kerutan di kening. Dari mana lelaki itu bisa tahu? "A-apa maksudmu? Aku tidak menger--"
"Siapa Imran?" tukas Barga dengan nada mulai geram.
Toha mendesah bingung sambil mengedar mata ke sekitar. Menghindar dari tatapan tajam mata Barga yang menikamnya dengan rasa bersalah. "A-aku tidak mengenal pria itu. Kau pasti sudah salah dengar!"
"Salah dengar katamu?" Barga tergelak dengan tawa sumbang. Merasa sudah dikhianati. "Brengsek, aku mendengarmu memanggil nama pria keparat itu tiga kali saat kau orgasme, Toha!"
Toha mundur selangkah ketika hantaman pening memukul kepala. Membuat limbung. "Cukup, Barga. Jangan bahas masalah ini sekarang, oke?" pinta Toha sambil memijit pelipis.
"Aku tak percaya sudah bercinta dengan barang second yang masih mendamba pulang kembali ke pelukan hangat pria keparat yang sudah membuangmu ke tempat sampah. Kasihan sekali," cemooh Barga sambil tersenyum sinis. "Mengharap cinta yang tidak akan pernah bisa kau miliki."
"Oh, yeah? Bagaimana dengan pria baik hati dan sok suci yang sudah puas mencumbu ayah dari calon mertua pacarmu sendiri?" balas Toha dengan tangan gemetar gatal ingin menampar. "Kau tidak lebih brengsek dariku, Barga. Kau tahu itu?"
Tangan Barga mengepal berusaha menahan diri agar tidak merengkuh tubuh Toha yang tampak begitu rapuh dan terluka. Dia harus bisa bersikap tegas melawan perasaan sendiri dan Toha merupakan satu kelemahan hati Barga.
"Jangan memutar-balikan fakta. Kau pihak yang bersalah di sini, oke? Kau tahu aku tidak pernah mencintai Nisa. Aku hanya menginginkanmu, Toha."
Toha menggeleng, lelah dengan semua janji semu yang hanya manis di bibir. "Simpan omong kosongmu, Barga. Segera pinang Nisa dan enyah dari hidupku. Aku sudah muak melihat tampang brengsekmu."
Barga mengusak rambut gusar dan mengusap muka frustrasi. "Kau pikir bisa kabur dariku? Ke mana pun kau pergi, aku akan selalu mengejarmu."
Toha merogoh saku celana belakang dan mengambil kunci motor sekaligus dompet. Tidak peduli dengan gertakan sambal Barga.
"Terimakasih sudah menambal ban motorku dan selamat tinggal. Semoga kita tidak pernah berjumpa lagi," ujar Toha mengucapkan salam perpisahan sambil meraih tangan Barga dan menaruh sesuatu di sana.
Barga tertegun melihat tiga lembar uang kertas warna biru tergeletak di telapak tangan. Merasa hancur ketika sadar bahwa Toha menilai ketulusan cintanya setara dengan total nominal uang di kepalan tangannya.
Barga segera mencekal tangan Toha yang hendak memasukan kunci ke kontak motor. "Kita bisa memulai semuanya dari awal lagi, Toha. Maaf, sudah berkata kasar padamu tadi."
Toha menatap buku jemari Barga yang mencengkeram lengan sebelum beralih menatap mata lelaki itu yang penuh sesal. "A-aku tidak yakin apa bisa ... mencintaimu seperti masa kecilmu dulu. Itu sulit, kau tahu? Ketika cintamu hanya dibutakan nafsu untuk memilikku."
Barga mengenggam semakin erat tangan Toha sambil terus menggeleng cepat "Beri aku kesempatan. Aku berjanji akan berubah menjadi lebih baik lagi, Toha."
"Kita sudah berakhir, Barga. Lupakan aku," ucap Toha mengurai lepas genggaman jemari Barga dan melajukan motor menjauh. Merentang jarak semakin lebar serupa jurang dalam yang sulit dilompati Barga. Apa benar semua akan berakhir di sini?
Kepala Barga menengadah menatap langit biru cerah dan mengerjap cepat saat gelombang air mata mengancam menembus tanggul pelupuk mata yang terasa panas dan perih. Lantas melayangkan kepalan ke batang pohon di tepi jalan. Berusaha mengalihkan rasa sesak yang menekan dada hingga lehernya terasa tercekik.
"Barga?" panggil Bi Lasmi sambil mencengkeram bahu Barga. Menghentikan tinju ke batang pohon entah untuk kali ke berapa.
"Di mana Toha?" tanya Bi Lasmi menoleh ke kanan-kiri mencari sosok Toha. "Padahal Bibi mau mengajaknya sarapan bareng."
"Dia pergi, Bi," sahut Barga dengan nada hampa serta sorot mata kosong dan basah oleh air mata yang memetakan berjuta lara di sana. "Toha pergi dan tak akan pernah kembali ke rumah ini."
Bi Lasmi terkesiap kala melihat untuk kali pertama sejak hari pemakaman kedua orang tuanya, Barga menangis tanpa suara.
"Ya, tuhan ... Barga. Tanganmu berdarah," pekik Bi Lasmi sembari mengenggam pergelangan tangan Barga dan memeriksa seberapa dalam luka gores di buku jemari yang terus meneteskan darah. "Tunggu di sini, Bibi akan mengambil kotak P3K dan mengobati lukamu."
"Nggak usah, Bi. Luka ringan seperti ini tidak akan membunuhku," tolak Barga sambil menepis genggaman tangan Bi Lasmi. "Aku tidak akan mati sebelum Toha menikah denganku."[]
