(52)

7.1K 294 93
                                    


Jarum jam beker di meja nakas hampir mendekati pukul satu dini hari saat Toha bangun. Sayup terdengar desisan statis di ruang tamu membetot kesadaran Toha dari selubung kabut mimpi. Imran pasti ketiduran dan lupa mematikan tv.

Beranjak turun dari ranjang, Toha segera keluar kamar dan menemukan pria itu meringkuk pulas di sofa panjang ruang tamu menghadap layar tv dengan sebelah lengan menekuk sebagai bantalan kepala.

Lekas mengambil remote di menekan tombol warna merah di sana. Desisan statis panjang berganti hening begitu layar tv padam. Lantas bergegas ke kamar dan kembali ke ruang tamu dengan selembar selimut dan bantal empuk.

Imran menggeliat serta meracau pelan saat Toha menepuk lengan pria itu. Sebelum mengerjap dan menatap bingung sambil beranjak duduk di sofa. "Jam berapa?"

"Menjelang dini hari," sahut Toha sambil mengangsur bantal dan selimut ke pria itu yang masih tampak separuh sadar. "Lehermu bisa pegal dan lenganmu kesemutan kalau tidur tanpa batal."

"Terima kasih," ucap Imran berselisip kuap sambil mengambil selimut dan bantal pemberian Toha dengan kantuk masih membayang di pelupuk. "Belum tidur?"

Toha mengedik bahu sambil melirik layar gelap tv. "Pasukan semutmu berisik sekali sampai kedengaran dari kamar."

"Benarkah? Padahal sudah aku setel dengan volume paling pelan," sahut Imran sambil tersenyum simpul mendengar kelakar Toha.

Dada Toha menghangat begitu senyum pria itu. Meski hanya berupa tarikan lemah di sudut bibir dan sadar sudah sangat lama dia kehilangan senyum jenaka itu.

Toha mengembus napas canggung. "D-di luar masih gelap. Kau harus segera kembali tidur. Besok masih hari kerja, ingat?"

"Toha?"

"Yeah?" sahut Toha sambil memutar tumit. Lantas berdiri menatap Imran dengan kening mengerut. Urung kembali ke kamar. "A-ada apa?"

"Bisa duduk sebentar?" pinta Imran sambil menepuk ruang kosong di sisi sofa sebelah kanan pria itu. "Kita perlu bicarakan sesuatu."

Mendadak firasat buruk berjejalan masuk ke tempurung kepala Toha kala mendeteksi perubahan gelagat dan mimik muka pria itu. Dan untuk sesaat, dia lebih memilih berdiam di kamar berteman desau statis layar tv. "S-soal?"

Imran menghela napas berat seakan bersiap memberi kabar buruk. Sangat buruk yang enggan Toha dengar dari mulut pria itu.

"Kau yakin ingin tetap berdiri di sana?"

Toha menggeleng. "Katakan saja. Kita hanya akan bicara sebentar, benar?"

Imran mengangguk dan berdeham. "Nisa akan genap berumur tujuh tahun bulan delapan."

"Senang sekali kau masih mengingat hari kelahiran putri kecil kita," sahut Toha penuh nada ironi sambil melipat kedua tangan ke depan dada. Memasang pose defensif dari serangan dadakan pria itu. "Kupikir, kau sudah lupa karena terlalu sibuk dengan ... klienmu."

Imran mendengus gusar begitu mendengar tuduhan tersirat dalam sindiran Toha. "Tentu saja aku tidak akan melupakan hari terindah sekaligus pahit dalam hidupku."

Toha melenguh napas lelah. Sudah bisa menebak ke mana jalan pikiran pria itu menuju. Yeah, benar; ke masa lalu. "Kita sudah sepakat, oke? Jangan ungkit masalah ini lagi."

"Bukan Dania," bisik Imran seakan langit akan seketika runtuh dan mengubur mereka hidup-hidup kalau berani mengucap nama gadis itu dengan suara lantang. "Tapi Nisa; putri kecil kita."

"Nisa?"

Imran mengangguk. "Dia butuh kasih sayang dari seorang ibu."

Toha mendengus sinis. "Omong kosong ... semua akan baik saja selama kita tetap bersama. Kita tidak butuh wanita lain di rumah ini, oke?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 30, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MY BRIDEGROOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang