(32)

3.7K 227 2
                                    


Pagi sudah beranjak siang saat Barga menguntit Toha memasuki kedai kopi seberang kantor praktik dokter Imran setelah menjalani pemeriksaan rutin.

Memilih meja sebelah pot pakis dekat pilar di tengah ruangan berselisih dua meja dari Toha, duduk di sisi jendela lebar kaca kedai menghadap ke jalan lengang pada jam sibuk kantor.

Menjaga jarak aman, namun tetap leluasa mengamati dari balik pot tanaman tropis dengan daun meruncing rimbun mencipta cukup ruang tersembunyi.

Selang lima menit, Toha akan merunduk memeriksa arloji bersambung memandang keluar jendela dengan tatapan sayu dan desah napas lesu.

Jelas Barga tahu kalau Toha sedang menunggu Imran di kedai kopi itu. Apa dia masih menaruh secercah harapan bisa kembali bersama pria keparat itu?

Barga segera menoleh ke pintu begitu menangkap kedip kaget mata Toha dan melihat sosok Imran dalam setelan kemeja rapi berderap melintasi barisan meja kedai sambil menenteng map cokelat tebal.

Kening Barga mengerut saat melihat Imran duduk dan mengangsur map cokelat ke seberang meja bersambut uluran malas tangan Toha. Apa ini ... transaksi suap?

Kepalan tangan Barga mengerat ketika menyaksikan jemari Imran beringsut pelan menangkup punggung tangan Toha, namun segera mendapat tepisan kasar. Kentara sekali berusaha membujuk Toha memahami sesuatu entah apa.

Karena tidak bisa menguping, Barga hanya bisa meraba obrolan mereka dari gesture dan mimik muka. Tampang Imran tampak memelas saat Toha mengucapkan sesuatu, dengan pasrah merogoh saku celana mencari sesuatu.

Barga mengangkat sebelah alis melihat Imran menaruh ponsel ke tengah meja. Mengatakan sesuatu saat Toha mengambil ponsel dan menggulir jemari di layar selebar lima inci itu. Segera mengantongi ponsel begitu Toha selesai meminjam.

Serentak menoleh ke pintu saat suara melengking bocah lelaki menginterupsi obrolan mereka. Imran bangkit dan menyambut kehadiran bocah itu dengan pelukan erat.

Di belakang mereka, tampak seorang wanita separuh baya dengan keriput samar mulai menggurat di sekitar mata dan sudut bibir, menghampiri meja Toha.

Toha segera berdiri dan bersalaman dengan wanita itu bersambung ciuman pipi serta rangkulan hangat.

Barga mendengus iba melihat drama panggung sedang berlangsung di depan mata. Sampai kapan kau akan terus bersandiwara, Toha? Merajut senyum dan memintal tawa palsu di depan istri dan anak selingkuhanmu?

Lambaian tangan melamban dan senyum berangsur memudar dari bibir Toha begitu punggung mereka lenyap dari pandangan. Mengedik bahu dan kembali duduk di meja kedai berteman secangkir kopi dingin.

Menggosok kedua telapak tangan serta bahu saat suhu ruangan merajam kulit dengan rasa gigil. Birai kaca kedai berembun begitu bertemu embusan napas Toha ketika duduk bersandar ke jendela. Menatap kehangatan cahaya matahari bersinar terik di luar sana.

"Berapa Imran membayarmu?"

Toha tersentak begitu melihat Barga berdiri di samping meja, lantas menggeleng tegas. "Berhenti menguntitku."

"Aku bisa menggandakan tarifmu dua kali lipat," tawar Barga sambil melirik map cokelat tebal di bawah tindihan tekukan siku Toha. "Masih kurang? Oke, aku tambah jadi lima atau ... sepuluh?"

"Kau tidak punya uang sebanyak itu," sindir Toha sambil mendengus sinis dan kembali melempar mata ke luar jendela.

"Aku bisa meminjam," sahut Barga tak ambil pusing. "Bukan masalah besar."

"Dangkal sekali pola pikirmu, Barga. Menganggap semua bisa kau miliki dengan uang."

"Kau mau aku bayar berapa?" cecar Barga seakan tuli.

"Teruslah bermimpi," desis Toha segera bangkit dan beranjak ke pintu sambil memeluk map cokelat itu.[]

MY BRIDEGROOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang