(45)

3K 181 31
                                    


Sudah setengah jam lebih Toha mondar-mandir di depan ruang bersalin sambil menggulir daftar kontak di layar ponsel. Bimbang apa harus menelepon Imran, namun dia tidak ingin menganggu proses sidang skripsi pria itu dengan kabar buruk.

Jemari Toha gemetaran saat mengetik pesan meminta pria itu segera ke rumah sakit begitu selesai menjalani sidang; berikut alamat dan nomor ruangan di bagian akhir pesan itu.

Toha mengantongi ponsel begitu melihat kedua orang tua Dania di ujung koridor ruang bersalin itu. Segera membuka mulut hendak menjelaskan, namun kelebatan tangan Bu Darla bergerak cepat menampar pipi Toha; menelan kembali setiap kata yang sudah berada di ujung lidah.

Telinga Toha berdenging bersama sensasi panas dan perih menjalar dari bekas tamparan di pipi. "Aku sudah berusaha menolong ... Dania," ucap Toha sambil merunduk, menatap bercak darah di telapak tangan.

Lengan Bu Darla kembali terangkat, bersiap memberikan tamparan susulan. Namun cekalan Pak Harso menghentikan aksi brutal istrinya.

"Kendalikan dirimu, Ma." kata Pak Harso sambil mengendurkan cengkeraman dan menurunkan tangan istrinya. "Semua ini bukan salah Toha."

"T-tapi, Pa. Putri kita ... kenapa Dania tidak memberitahu kita kalau sedang hamil," ratap Bu Darla terisak dalam dekapan suaminya.

"Kita doakan yang terbaik," hibur Pak Harso sambil mengusap dan menepuk lembut punggung istrinya. "Dania gadis yang tangguh. Dia pasti akan baik saja di dalam sana."

Toha berdiri bersandar ke dinding samping pintu, sementara Bu Darla duduk lemas di bangku panjang ruang tunggu sambil bersandar ke bahu suaminya.

Bu Darla dan Pak Harso segera bangkit berdiri begitu pintu ruang bersalin terbuka dan seorang dokter keluar dari sana.

"Kondisi pasien kritis; sudah kehilangan banyak darah. Kami harus segera mengambil tindakan untuk mencegah komplikasi--"

"Bunuh janin itu," tukas Bu Darla tegas tanpa menunggu penjelasan sang dokter.

"Selamatkan dia," sambung Toha cepat sebelum dokter itu kembali masuk ke ruang bersalin. "Selamatkan putri kecilku. Pastikan dia tetap hidup."

Lengan Bu Darla segera menyambar dan merenggut kerah kemeja Toha dengan kasar. "Kau ingin membunuh putriku?" desis Bu Darla sambil menatap mata Toha penuh kecaman dan hasrat membunuh.

"Aku ingin mereka berdua hidup," sahut Toha sambil mengenggam lembut kedua tangan keriput wanita tua itu yang semakin mengerat. "Apa Anda tidak memikirkan perasaan Dania? Dia sedang berjuang di dalam sana demi janin itu. Bahkan dengan taruhan nyawa."

Bu Darla mendengus. "Omong kosong ... Dania tidak akan menderita di sana kalau bukan karena benih harammu."

Toha ingin membantah tuduhan keliru itu, namun urung kala sadar pembelaan tidak akan memperbaiki keadaan; Dania tetap sekarat di dalam sana.

"Cukup, Ma. Jangan perburuk keadaan," bujuk Pak Harso sambil meremas lembut bahu istrinya mulai berguncang menahan isak.

"Kau bajingan terkutuk," umpat Bu Darla sambil menunjuk dada Toha dengan tangan gemetaran. "Kalau sampai terjadi sesuatu pada putriku; kau akan menyesal seumur hidup."

Toha terdorong mundur saat Bu Darla melepas cengkeraman dari kerah kemeja, kembali duduk di bangku panjang ruang tunggu sambil terus menatap pintu yang kembali menutup.

Entah sudah berapa kali Toha melirik arloji; mencoba menghitung tiap detik yang berlalu. Apa benar proses bersalin memakan waktu selama itu?

Mengembus napas lega begitu mendengar tangisan bayi menggema dari dalam sana. Lantas segera menerabas masuk bersama kedua orang tua Dania.

MY BRIDEGROOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang