Karena bangun kesiangan, Toha tidak sempat bikin bekal di rumah. Memilih makan siang di kantin bersama Bu Esti setelah jam istirahat kedua berakhir.Kebetulan jadwal mengajar mereka hari itu hanya sampai tengah hari dan tinggal menunggu presensi pulang pukul setengah empat sore nanti.
Toha mendongak dari atas mangkuk bakso serta sepiring kecil nasi dan segelas es teh dingin. Kemudian menoleh ke pintu kantin di sisi kanan meja, mengikuti pandangan Bu Esti.
Mengumpat pelan tanpa sadar begitu mendapati Barga melintasi barisan meja kosong di kedua sisi ruangan dan menyesal karena memilih makan setelah kantin itu sepi.
"Bukankah hari ini guru olahraga ada jadwal mengajar sampai jam dua siang?" tanya Toha kembali menatap Bu Esti di seberang meja dengan sorot bingung.
Bu Esti mengedik bahu. "Kau tahu sendiri, Toha. Metode mengajar mereka fleksibel, tidak butuh ruang kelas atau pun buku diktat serta mesin proyektor sebagai fasilitas penunjang belajar siswa."
Firasat Toha semakin memburuk saat melihat dokumen di satu tangan Barga. "Tapi bukan berarti dia bisa keluyuran di saat jam mengajar."
Keringat dingin membasahi telapak tangan Toha begitu Barga tiba di samping meja mereka dan perasaan gusar ketika mengenali sudut sampul dokumen mengintip dari balik papan alas tulis dengan selembar daftar nama siswa beserta kolom penilaian di barisan kanan halaman terselip pada penjepit kertas di bagian atas papan.
"Bisa kita bicara berdua sebentar?" tanya Barga ke Toha sambil melirik Bu Esti dengan sorot meminta pengertian.
"Aku sedang makan," sahut Toha tanpa menatap Barga. Mengunci mata tetap memandang lurus ke depan. "Kita sudah selesai, Barga. Tidak ada yang perlu dibicarakan."
Barga mengedik bahu, lantas menoleh ke guru sejarah yang duduk di depan Toha sambil memasang tampang tidak enak hati. "Bu Esti, bisa tukeran tempat duduk?"
"Tetap di sini," cegah Toha sambil mencekal pergelangan tangan Bu Esti ketika hendak bangkit berdiri.
Barga mengembus napas geram melihat guru sejarah itu urung meninggalkan meja. "Bu Esti ... bisa tolong pindah sebentar ke meja sebelah sana?"
Bu Esti melirik bergantian dari Toha kemudian beralih ke Barga yang masih berdiri di samping meja dengan jempol teracung ke belakang menunjuk barisan meja di seberang ruangan, bimbang mengambil keputusan.
Meski pun sangat mendukung hubungan mereka. Namun di sisi lain, Bu Esti tidak ingin mengecewakan sahabatnya dengan menuruti kemauan Barga.
"Kau tidak punya otoritas mengusir guru lain semaumu, Barga. Kau hanya guru pengganti, jangan belaguk di sini," desis Toha dengan lirikan tajam serta dengusan napas kasar.
Barga mengedik bahu, lantas menaruh dokumen rekam medis ke meja. "Kau yakin masih ingin teman wanitamu berada di sini?"
Jemari tangan Toha mengepal dengan rahang mengatup rapat kala mengamati dokumen itu. Sadar sudah kalah telak.
"Saya ada di sana," kata Bu Esti menunjuk ke satu meja di sisi kanan ruangan sambil mengangguk paham. "Panggil saja kalau butuh bantuan."
Toha merasa bersalah saat Bu Esti mengangkat nampan berisi menu makan siang dan duduk di seberang barisan meja mereka.
Mendengus sebal melihat Barga duduk di seberang meja dengan senyum puas dan tanpa permisi menggeser gelas es teh milik Toha, lalu menanam ujung sedotan ke mulut.
Bersendawa panjang setelah meminum habis setengah gelas sambil menarik kerah kaus abu-abu polos dengan gerakan seperti sedang mengipas angin. "Panas sekali di luar, Toha."
Toha mengerjap tak percaya ketika Barga beralih meraih garpu, menusuk biji bakso paling besar di mangkuk dan mengarahkan ke mulut.
"Kau mau?" tawar Barga sambil mengulur garpu dengan bakso separuh tergigit ke depan mulut Toha yang masih membisu.
Barga mengembus napas kecewa dan memutar garpu kembali menuju ke mulut sendiri. "Kau bukan pria bisu, Toha. Katakan sesuatu," kata Barga mulai bosan dengan aksi bungkam Toha.
"Apalagi yang sudah dia katakan padamu?" tanya Toha lugas sambil mencengkeram kedua sisi dokumen itu.
"Soal fakta bahwa kau bukan ayah biologis ... Nisa?"
Napas Toha kontan tersekat, "Nisa putriku."
"Yeah ... buah dari hasil hubungan gelap mendiang istrimu dengan dokter terapismu," ralat Barga sambil mengedik bahu dan mengulum senyum getir.
"Jangan menghakimi kalau kau tidak mengenal sosok seperti apa Dania semasa hidup," kecam Toha dengan desisan tajam.
Barga melenguh napas lelah. "Sampai kapan kau akan menutup mata, Toha? Kau tahu betul kalau selama ini Dania berselingkuh. Dia ... mengkhianatimu."
"Dania bukan wanita seperti itu," bantah Toha sengit dan kontan berjengit mundur begitu lengan Barga mengulur melintasi meja dan mengusap sudut bibirnya.
"Ada nasi di bibirmu," kata Barga menunjukan sebutir nasi di antara jari jempol dan telunjuk. Kemudian sambil menatap mata Toha, dia memakan nasi itu.
Toha menggeleng, mendorong kursi mundur dan segera beranjak meninggalkan meja.
"Oke, tak apa. Masih ada Nisa kalau kau tidak mau memberitahuku, Toha."
Ayunan kaki Toha seketika berhenti melangkah. "Jangan libatkan Nisa dalam masalah ini, Barga. Dia tidak tahu apa-apa."
"Kau bisa percaya padaku," bujuk Barga sambil berjalan mendekat. "Rahasiamu akan aman bersamaku, Toha."
Toha mengedar mata gusar ke sekitar. Bertemu sepintas dengan mata Bu Esti, meski ada kebingungan di sana, guru sejarah itu mengangguk penuh simpati.
Entah karena lelah memikul beban dosa masa silam itu sendirian, atau dia hanya ingin membagi rasa sakit dan kesedihan yang sudah lama bersarang dalam dada dan pengakuan pun mulai meluncur bebas dari bibir Toha.[]
a/n:
Cuma mau kasih info aja klo part depan mulai masuk ke bagian flashback. Btw, menurut kalian lebih nyaman klo baca pake italic (garis miring) atau pake font biasa aja pas bagian flashback?
Itu aja sih, makasih udh mampir dan baca karya pertama author di akun ini. Moga bisa menghibur pembaca semua :)