(46)

2.9K 187 14
                                    


Rona pagi masih membekas saat Toha bangun dan terperanjat begitu sadar semua itu bukan mimpi. Sudah lebih dari sepekan sejak hari pemakaman Dania, namun bayang gadis itu masih merekat erat dalam ingatan; bersemayam di setiap sudut ruangan.

Pernah sekali di kala senja, menemukan sosok gadis itu sedang duduk merajut di kursi ayunan balkon. Namun begitu pandangan Toha beralih sejenak ke box bayi dan kembali menatap ke balkon; sosok itu sudah pergi. Menyisakan kursi ayunan kosong yang berderit bersama semilir angin mengugurkan dedaunan kering dari ranting pohon di pekarangan belakang.

Begitu pun di dapur, kadang Toha masih mendapati gadis itu sedang sibuk menyiapkan sarapan di sana.

"Mau sarapan apa pagi ini?"

"Nasi goreng pakai telur mata sapi dan--" Ucapan Toha menggantung begitu menoleh darl rak bagian samping pintu kulkas dan tertegun kala sadar dia sendirian di sana berteman bunyi tetesan air dari keran bak cuci piring penuh dengan tumpukan piring dan gelas kotor bekas makan malam yang lupa dibilas semalam.

Sejak kepergian Dania, Imran memilih pindah tidur di kursi ayunan balkon. Pergi ke kelab setiap malam dan baru akan pulang menjelang tengah malam dalam keadaan mabuk dengan muka lebam dan bibir berdarah serta meracau tentang petugas keamanan yang sudah kurang ajar berani mengusir hanya karena terlibat perkelahian dengan pengunjung kelab lain.

Pernah satu malam, ketika sedang mencoba menenangkan tangisan bayi mungil mereka yang terbangun lewat tengah malam, Toha mendengar Imran mengigau dengan mata masih memejam; terus memanggil nama gadis itu.

Toha segera ke balkon melalui pintu geser kamar bayi. Menguncang keras bahu Imran dan terkejut begitu mendapati suhu tubuh pria itu sangat panas.

"Dania mana?" tanya Imran serak dengan sorot linglung karena demam begitu membuka mata dan celingukan mencari sosok gadis itu.

Ada tusukan rasa kehilangan menancap begitu dalam ke dada Toha ketika mendengar nama itu meluncur mulus dari bibir Imran; nama yang sepekan belakangan ini pantang Toha ingat. Apalagi disebut. "D-dia ... sudah pergi, Imran?"

"Kau bohong. Dania masih di sini,; bersama kita. Aku tadi melihat dia duduk di sini, Toha," bantah Imran sambil menggeleng dan kembali memanggil nama gadis itu. Namun terdiam begitu melihat bayi mungil dalam gendongan Toha.

"Kau benar. D-dia sudah ... pergi," aku Imran dengan nada hampa sambil mengedik bahu lemas. "Pasti hanya mimpi tadi."

"Kau demam, Imran," sahut Toha sambil mengangguk dan mengusap lembut bahu pria itu. "Mau aku kompres air hangat?"

"Nggak usah. Aku baik saja," tolak Imran kembali merebah miring ke kursi ayunan itu berbantal tekukan sebelah lengan.

Toha menghela napas berat. Kembali masuk ke kamar dan menaruh bayi mungil itu ke box bayi ketika sudah terlelap. Lantas turun ke dapur mengambil sebaskom air hangat dan handuk kecil serta selimut tebal di kamar tamu.

Begitu tiba di balkon, Toha segera menghamparkan selimut ke badan Imran. Menggeser kursi berlengan mendekat ke kursi panjang berayun itu, merendam handuk ke baskom dan menaruh kain kompres itu ke kening pria itu setelah diperas separuh kering.

Tanpa sadar, Toha ketiduran dan bangun dalam balutan selimut tebal. Tertegun ketika mendapati kursi ayunan itu kosong. Ke mana Imran?

Mengembus napas lega begitu menemukan pria itu di dalam kamar bayi sedang menimang bayi mungil mereka.

"Nisa mengompol, Toha," adu Imran sambil menunjuk popok basah bayi mungil mereka yang merembes ke kaus putih lengan pendeknya.

Toha tertawa sambil mengangkat bayi mungil itu dari gendongan Imran. Segera mencopot popok basah itu dan membuangnya ke tempat sampah kedap udara. "Cepat mandi sana. Badanmu pesing sekali."

"Tahu begini, nggak usah aku gendong saja tadi," gerutu Imran sambil beranjak keluar dan mendadak diam begitu membuka pintu.

"Imran," panggil Toha sambil menepuk pelan bahu pria itu. "Kau ... tak apa?"

Mata Imran mengedip seakan baru tersadar dari pengaruh hipnotis. "Uhm ... yeah. Aku baru ingat kalau hari ini ... tanggal ulang tahun Dania," sahut Imran sambil menoleh ke Toha. "Menurutmu, dia suka kado apa?"

"Cukup, Imran. Dia sudah pergi, oke? Tidak akan pernah ada perayaan. Apalagi kado ulang tahun."

"Dania tidak akan pernah pergi, Toha," balas Imran sambil mengetuk pelipis. "Dia akan selalu ada di sini; sampai aku mati."

Toha membuang muka sambil mendengus dan segera turun ke dapur. Lantas memasak sarapan dengan paduan buku resep. "Kau ... tidak sarapan?"

"Aku tidak lapar," sahut Imran sambil menaruh kaus bekas ompol itu ke keranjang cucian.

"Hampir sepekan kau belum makan, Imran."

"Bisakah berhenti belagak jadi ibuku, Toha?" pinta Imran tanpa menoleh. "Aku tidak butuh bantuanmu."

Habis sudah kesabaran Toha. "Oke, urus saja dirimu sendiri kalau sakit nanti. Jangan harap aku akan peduli padamu," bentak Toha sambil membanting buku resep ke meja makan di sebelah piring dengan menu masakan favorit pria itu.

Sejak hari pengusiran dari kelab, setiap malam Imran mabuk di balkon; menengak puluhan botol bersambung kepulan asap rokok sampai lewat tengah malam.

"Dilarang merokok di balkon," tegur Toha saat asap rokok berembus ke dalam kamar bayi. "Demi tuhan, Imran. Ada Nisa sedang tidur di dalam. Kau mau meracuni paru-paru bayi kita dengan nikotin?"

"Jangan hiperbolis begitu, Toha," racau Imran mulai larut dalam pengaruh alkohol. "Dania tetap saja pergi meski tidak pernah mengisap nikotin."

Merasa muak, Toha menyambar sebatang rokok hampir habis terbakar dari selipan jemarl Imran dan segera menggerus bara api ke asbak yang sudah penuh dengan putung timbunan abu rokok.

Beranjak masuk setelah merampas sebungkus rokok dari saku celana Imran dan segera turun ke kamar tamu di lantai bawah.

Sejak kepergian Dania, Toha belum pernah merapikan kamar tidur utama. Mendekat pun dia tidak berani, apalagi harus masuk dan tidur di dalam sana. Bukan lantaran takut, melainkan karena rasa bersalah yang tidak sanggup dia hadapi.

Tangisan bayi menjadi alarm pagi itu. Dengan perasaan pengar karena kurang tidur, Toha beranjak turun dari ranjang dan segera menuju ke kamar bayi dengan langkah sempoyongan.

Tertegun kala tangisan itu mendadak berhenti.. Merasa khawatir, Toha segera memacu langkah dan mendapati Imran berdiri mematung di depan box bayi dengan tatapan nanar begitu membuka pintu kamar.

Mata Toha melebar begitu melongok ke dalam box bayi dan menemukan tumpukan bantal menindih kepala bayi mungil mereka.

"A-aku hanya ingin membantu Nisa ... diam," jelas Imran berusaha mendekat ke arah Toha yang terus melangkah mundur sambil memeluk bayi mungil dengan muka membiru, namun masih bernapas. "A-aku kasihan melihat Nisa terus menangis sendirian. Dia mungkin akan lebih bahagia kalau bisa segera bertemu ibunya. Dia menderita hidup di sini, Toha."

"Yeah, kau benar. Kita semua menderita hidup di rumah terkutuk ini," jerit Toha hampir histeris.

"T-tapi, Toha. Dania akan sendirian kalau kit--"

"Aku bisa gila kalau terus hidup dalam kenangan pahit di rumah ini," tukas Toha meradang. "Aku sudah tidak sanggup, Imran. Kau bisa tinggal di sini, biar aku yang pergi bersama Nisa dari rumah ini."[]

MY BRIDEGROOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang