(48)

2.8K 167 0
                                    


Rumah sederhana itu menjadi saksi bisu tumbuh kembang bayi mungil mereka. Toha pun tak pernah luput mengabadikan setiap momen istimewa dalam lembaran potret kamera; bermula saat bayi itu mulai merangkak, mencoba merambat dan mengambil langkah pertama menapaki lantai rumah mereka.

Imran baru pulang dari kantor saat peristiwa bahagia itu terjadi. Dengan langkah goyah, meniti ruang tamu menuju pintu di mana pria itu berdiri tercengang; menyaksikan sang buah hati mencoba mendekat dengan kedua lengan mungil terentang ke depan seakan meminta sebuah pelukan hangat.

Toha mengangguk begitu menangkap sorot bimbang dalam tatapan pria itu. Sejak insiden mengerikan di box bayi, Imran selalu ragu setiap kali hendak menyentuh seakan takut tulang rapuh bayi mungil mereka akan patah seperti ranting pohon terinjak tapal kuda.

Imran tampak melega ketika mendapat izin dari Toha. Kembali merunduk dengan seulas senyum haru saat sang buah hati menangkap dan memeluk kedua lutut. Mengacak lembut rambut tipis di pucuk kepala, namun seketika membeku begitu mendengar kata pertama keluar dari mulut balita itu.

"Mama?" panggil balita itu sambil mendongak dan menatap Imran dengan tatapan lugu dan muka polos.

Toha segera mengangkat balita itu dan mengendongnya menjauh dari Imran, meski tahu sudah terlambat. Pijakan di bawah mereka mendadak berderak dan membelah, membentuk rekahan yang semakin melebar. Dengan mereka berada di dua sisi tepian, bergerak menjauh saling berlawanan arah.

"Tidak ada mama di sini. Hanya ada papa, oke?" ucap Toha berusaha menenangkan balita itu. Lantas menoleh menatap Imran dan sadar, tembok tak kasat mata kembali memagar di sekitar pria itu. "I-imran ... Nisa hanya sedang lapar, oke? Aku akan segera bikin bubur dan kasih dia makan."

Imran mengedik bahu. "A-aku butuh udara segar, Toha. Sangat ... sesak di dalam sini," sahut prla itu sambil berbalik dan segera keluar dari rumah itu.

Toha hendak memanggil pria itu, namun urung ketika sadar Dania kembali meneror dengan rasa sakit dan kehilangan. Mengorek luka yang dulu sempat mengering dan kini kembali menanah.

Setelah balita itu tidur, Toha segera menemui Imran di beranda. "Kau ... baik saja?"

Imran mengangguk tanpa berbalik menghadap Toha. "Sudah hampir tiga tahun aku--"

"Kita sudah sepakat tidak akan pernah sebut nama gadis itu," tukas Toha mengantisipasi gempa susulan setelah guncangan besar tadi. Perlahan mendekat ke Imran yang seakan berdiri di bibir jurang. Sekali salah melangkah bisa tergelincir dan dia tidak yakin, apakah bisa kembali menyelamatkan pria itu kalau jatuh ke bawah sana.

"Kita tidak bisa terus hidup dalam bayangan. Kita harus tetap melanjutkan hidup; demi Nisa. A-aku tidak bisa kalau sendirian. K-kami ... butuh kau, Imran," bujuk Toha sambil terus melipat jarak dan tertegun begitu melihat Imran mengusap kasar sudut mata sebelum berbalik.

"Aku baik saja, oke?" sahut Imran dengan suara serak sambil mengedar mata ke sekitar; enggan menatap Toha. "Bisa tinggalkan aku sendiri? Aku ingin merokok sebentar di luar."

Toha mengangguk dan mengulurkan tangan hendak menepuk bahu, namun urung begitu Imran beringsut mundur; menarik garis batas di antara mereka.

"Pakai jaketmu. Udara malam ini sangat dingin; kau bisa masuk angin," nasihat Toha sambil melipat tangan dan menggosok lengan. Lantas menengadah menatap langit tanpa gemerlip bintang di atas sana. "Mau ... kopi hangat?"

Imran kontan menggeleng. "Aku hanya butuh sendiri."

Toha mengedik bahu dan menghela napas dalam. "Kunci pintu sebelum pergi tidur," pungkas Toha sambil melangkah masuk dan ketika hendak menutup pintu, dia mendengar debaman dari arah luar. Tanpa mengintip dari balik gorden pun, Toha sudah tahu; salah satu pot tanaman gantung di beranda rumah sudah retak dan hancur kena hantaman Imran.

Sejak malam itu, Imran mulai menjaga jarak. Namun malah semakin dekat dengan bayi mungil mereka. Setiap pulang dari kantor, pria itu selalu bawa hadiah boneka dan pergi ke taman hiburan pada akhir pekan.

Toha sedang memasak makan malam kala jeritan girang balita itu menggema ke dapur; satu tanda kalau Imran sudah pulang. Dia akan berdiri dengan kepala bersandar ke tembok lorong dapur dan tangan bersedekap; mengamati mereka bermain sambil tertawa riang dan seakan tanpa beban.

Meski terdengar aneh, kadang Toha merasa cemburu melihat kedekatan mereka serta pada sikap Imran yang terkesan pilih kasih. Pria itu akan mendadak bungkam begitu dia mendekat dan setiap malam, Toha selalu introspeksi diri. Barangkali tanpa sengaja, dia sudah melakukan kesalahan.

Toha menganggap sudah cukup beruntung bisa berada di sisi Imran. Namun jauh di lubuk hati terdalam; dia menginginkan lebih. Bukan sekadar orang asing yang menumpang tinggal di rumah itu bersama mereka.

Toha akan memeluk dan mencium pipi gembil balita itu ketika sedang merindukan Imran. Mengendus jejak kehangatan dan aroma tubuh pria itu yang masih membekas samar di sana yang kini terasa jauh dan tidak tersentuh.

Dulu setiap menjelang tidur malam, mereka akan rebahan di ranjang bersama membaca buku dongeng dan berakhir dengan Nisa jatuh terlelap sambil merangkul leher Toha, sedang Imran berbaring miring memeluk Nisa dari belakang dan Toha akan menggeser kepala serapat mungkin ke bibir Imran, lantas memejam mata; hanyut dalam deburan hangat napas pria itu.

Namun sejak malam kata pertama balita itu, Imran lebih memilih tidur sendirian di sofa ruang tamu. Lebih dari sekali saat bangun pada tengah malam, Toha menemukan pria itu duduk merosot di sana di depan layar tv yang masih menyala dengan tampilan bintik putih statis seperti ratusan koloni semut.

Meski hanya ada desauan panjang nonstop menunggu transmisi siaran pagi mengusik keheningan malam, Toha tahu Imran sedang menangis tanpa suara begitu menangkap gerakan bahu pria itu. Toha ingin sekali mendekat, namun sadar mencoba menghibur hanya akan menambah buruk keadaan.

Toha melirik jam beker di nakas dan terperanjat kala melihat jarum jam sudah menunjukan pukul tiga dini hari. Pasti dia ketiduran saat sedang membacakan buku dongeng. Segera beranjak turun dari ranjang dan menuju ke dapur untuk mengambil segelas air minum.

Tertegun ketika membuka tudung saji dan mendapati masakan rumah di sana masih utuh. Mendekat ke sisi jendela dan mengintip keluar. Namun tidak ada mobil Imran di halaman depan. Mobil bekas yang baru dibeli sebulan lalu dengan mesin masih cukup bagus, hanya bagian bodi yang butuh perbaikan khusus.

Toha kembali ke kamar, mengambil ponsel di nakas dan segera memeriksa notif pesan maupun riwayat panggilan telepon, namun nihil. Imran selalu memberi kabar kalau ada kunjungan medis mendadak ke rumah klien. Namun biasanya tidak sampai selarut ini. Paling lama baru pulang delapan malam.

Firasat Toha bertambah buruk ketika panggilan telepon tak kunjung tersambung. Bahkan setelah sepuluh kali men-dial, tetap saja ponsel pria itu tidak aktif. Ke mana kau ... Imran?[]

MY BRIDEGROOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang